Khalifah Kecil: Amanah Empat Belas Tahun (2)
Oleh : Ki Suratno Hayuningrat
Bayi itu tumbuh di sebuah desa yang sepi dan gersang. Tanahnya retak, pepohonannya jarang, dan sungainya hampir kering. Angin berhembus membawa debu, bukan kesejukan. Namun di tengah segala keterbatasan itu, hadir seorang anak yang membawa sinar berbeda.
Ibunya, seorang janda miskin, mengasuhnya dengan kasih sayang dan doa yang tak pernah putus. “Engkau adalah amanah Allah, Nak,” ucap ibunya setiap kali menggendongnya di bawah sinar rembulan. “Jadilah cahaya bagi dirimu dan bagi orang-orang di sekitarmu.”
Anak itu tumbuh dengan mata yang jernih dan hati yang peka. Meski tubuhnya kecil, ucapannya sering membuat orang dewasa terdiam. Ia tak banyak bicara, tapi setiap kata yang terucap seolah mengandung hikmah.
Ketika teman-temannya berebut makanan, ia memilih berbagi.
 Ketika orang lain menertawakan anak cacat di kampungnya, ia justru mendekat dan menemaninya bermain.
 Ketika warga berselisih karena air sumur yang kering, ia berinisiatif menggali tanah baru di pinggir sungai tua, dan di situlah—atas izin Allah—muncul mata air kecil yang jernih.
Orang-orang mulai menyebutnya “Anak Cahaya”, sebab kehadirannya membawa keteduhan. Ia tak punya harta, tak punya pakaian bagus, namun tutur katanya seperti menyejukkan hati.
Suatu hari, saat usianya baru sembilan tahun, ibunya jatuh sakit parah. Anak kecil itu menjaga ibunya siang dan malam. Ia menumbuk daun-daunan untuk obat, menimba air, memasak bubur tipis dari beras pinjaman tetangga.
Dalam doanya ia sering berkata,
“Ya Allah, Engkau telah menitipkan aku pada ibu yang lemah. Berilah kekuatan padanya sebagaimana Engkau memberi amanah kepadaku.”
Namun takdir tak bisa dihindari. Pada suatu subuh yang hening, ibunya menghembuskan napas terakhir. Ia menatap wajah ibunya lama sekali, lalu tersenyum sambil berbisik,
“Ibu, kini engkau telah pulang. Izinkan aku meneruskan amanah yang pernah kudengar dari Malaikat.”
Sejak saat itu, ia hidup sebatang kara. Tapi kesepiannya justru menumbuhkan kedewasaan jiwa. Ia belajar membaca Al-Qur’an dari seorang kiai tua di surau, dan setiap kali mendengar ayat “Inni ja’ilun fil ardhi khalifah” — “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS. Al-Baqarah: 30) — hatinya bergetar. Ia tahu, ayat itu bukan sekadar kisah Nabi Adam, tapi panggilan bagi setiap jiwa yang lahir untuk memberi makna pada kehidupan.
Tahun demi tahun berlalu. Pada usia empat belas, wajahnya telah matang melebihi umurnya. Ia menjadi tempat bertanya bagi warga desa. Jika ada yang berselisih, ia menjadi penengah. Jika ada anak lapar, ia berbagi roti. Jika ada orang tua kesepian, ia datang dan duduk diam, hanya mendengar—karena baginya, mendengarkan juga bentuk kasih sayang.
Namun tubuhnya mulai melemah. Ia sering batuk di malam hari, dan matanya kian redup. Suatu sore, saat matahari tenggelam di balik bukit, ia memanggil anak-anak kecil yang biasa bermain bersamanya.
“Aku akan pergi sebentar lagi,” katanya tenang. “Tapi ingatlah, setiap kalian adalah khalifah. Menjaga bumi, menjaga sesama, menjaga hati. Jangan biarkan kemarahan mengalahkan kasih sayang.”
Anak-anak itu menangis, tak mengerti sepenuhnya kata-katanya, tapi merasakan kehangatan yang aneh dalam dada mereka.
Malam itu, ia berwudu dengan susah payah. Ia menatap langit-langit gubuknya yang bocor, lalu berdoa:
“Ya Allah, Engkau memanggilku di usia yang singkat. Tapi aku telah melihat betapa indahnya kehidupan ini ketika dijalani dengan kasih. Jadikan tangisku saat lahir menjadi senyumku saat pulang. Izinkan aku kembali dalam ridha-Mu.”
Dan benar. Ketika fajar menyingsing, ia ditemukan dalam keadaan tersenyum, wajahnya tenang seakan baru saja berbincang dengan Malaikat.
Desa yang dulu gersang kini memiliki sumur yang tak pernah kering. Penduduknya mulai belajar berbagi, mulai mengenal ibadah, dan mulai memandang hidup dengan harapan baru. Mereka menyebut mata air itu “Telaga Khalifah Kecil”, sebagai pengingat bahwa kehadiran sekecil apa pun, jika disertai niat tulus karena Allah, mampu mengubah dunia di sekitarnya.
Kini kisahnya hidup dari mulut ke mulut, menjadi pelajaran bagi siapa pun yang mendengarnya: bahwa usia bukan ukuran kemuliaan, dan tempat bukan alasan untuk menyerah. Karena setiap manusia, betapapun kecilnya, adalah khalifah — yang lahir untuk menebar cahaya di tengah kegelapan.
Cerita Khalifah Kecil ini merupakan tulisan almarhum Ki Suratno Hayuningrat, tokoh Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) yang pernah menjabat sebagai Presidium PPM periode 1989–1993 serta Sekretaris Jenderal PPM Nasional pada periode 1994–1998 dan 1999–2004. Kisah khalifah kecil dalam narasi Ki Suratno bukanlah dongeng masa lalu, melainkan kompas moral yang ia wariskan—sebuah pelajaran berharga dari sosok sentral PPM yang menyalakan api pengabdian dan kebijaksanaan bagi generasi penerusnya
 













 
							

 












