ppmindonesia.com.Lebak– Kasus pelanggaran larangan merokok di lingkungan sekolah kembali mencuat setelah seorang guru di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, menjadi sorotan publik karena menegur murid yang kedapatan merokok di area sekolah. Alih-alih diselesaikan secara internal, peristiwa tersebut justru berujung pada laporan ke pihak berwenang.
 Situasi ini memunculkan perdebatan luas mengenai batas kewenangan guru, peran sekolah, dan tanggung jawab moral orang tua dalam membentuk karakter anak-anak di era modern.
Kawasan Tanpa Rokok dan Krisis Wibawa Moral
Larangan merokok di sekolah sejatinya telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 188 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Sekolah termasuk wilayah yang wajib bebas dari asap rokok bersama fasilitas kesehatan dan tempat ibadah.
 Namun, menurut Gus Elam,tenaga pengajar di Pesantren Bekasi, masalah sebenarnya bukan hanya soal rokok.
“Ini bukan semata soal rokok, tapi soal pembiasaan dan keteladanan. Kalau murid berani melanggar aturan di depan gurunya, berarti ada krisis wibawa moral.”
— Gus Elam,
Ia menegaskan, teguran guru seharusnya dilihat sebagai bagian dari proses pendidikan karakter, bukan bentuk kekerasan. “Kalau setiap teguran dianggap salah, siapa yang akan mendidik anak tentang batas dan tanggung jawab?” ujarnya kepada ppmindonesia, Rabu (16/10/2025).
Pergeseran Hubungan Rumah dan Sekolah
Fenomena tersebut menunjukkan pergeseran pola relasi antara orang tua dan sekolah. Guru kini berada dalam posisi dilematis—di satu sisi dituntut menegakkan disiplin, di sisi lain mudah disalahkan bila anak merasa tidak nyaman.
 Padahal, menurut Gus Elam, pendidikan moral tidak bisa hanya diserahkan kepada sekolah.
 “Orang tua seharusnya menjadi teladan dan mitra sekolah, bukan justru menjadi pembela anak tanpa refleksi atas perilakunya,” ujarnya.
Pendidikan Karakter Dimulai dari Rumah
Data Kementerian Kesehatan (2023) menunjukkan, 8,4 persen pelajar SMA di Indonesia pernah mencoba merokok, meningkat dari 6,8 persen pada 2019. Sebagian besar mengaku mengenal rokok dari rumah dan lingkungan sekitar.
“Anak-anak tidak mendengar nasihat kita, mereka menonton kehidupan kita.” — Buya Syakur Yasin
Ia menegaskan, anak-anak belajar dari contoh nyata. Ketika lingkungan rumah permisif, nilai disiplin yang diajarkan di sekolah menjadi lemah. Kalau orang tua merokok di rumah, larangan di sekolah tak akan bermakna.”
Peran Pemerintah dan Sekolah
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Banten menegaskan siswa yang merokok di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, akan dikenai sanksi. Dindikbud Banten menegaskan sekolah merupakan lingkungan bebas rokok.
“Namun tentunya tidak dibenarkan jika lingkungan sekolah menjadi tempat merokok bagi siswa. Siswa yang melanggar larangan merokok akan menerima sanksi atau teguran agar tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari,” ujar Plt Kepala Dindikbud Banten, Lukman, kepada wartawan, Rabu (15/10/2025) di lansir dari detiknews
Krisis Keteladanan dan Kepercayaan
Kasus di SMAN 1 Cimarga hanyalah potret kecil dari krisis keteladanan di dunia pendidikan. Ketika guru kehilangan otoritas moral, orang tua kehilangan kesadaran tanggung jawab, dan anak-anak kehilangan arah, maka disiplin hanya tinggal slogan.
Sebagaimana diingatkan sosiolog pendidikan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Heart (1997):
“Sekolah bisa membuat aturan, tetapi rumah adalah tempat di mana moral dipraktikkan.”
Kasus Cimarga seharusnya menjadi cermin, bahwa membangun generasi bermoral bukan sekadar membuat aturan larangan merokok, tetapi menumbuhkan kepercayaan dan keteladanan di rumah, sekolah, dan masyarakat.(emha)
 













 
									

 












