Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Ego dan Luka Spiritual: Bagaimana Kritik Bisa Menyembuhkan

41
×

Ego dan Luka Spiritual: Bagaimana Kritik Bisa Menyembuhkan

Share this article

Penulis:emha| Editor: asyary

Foto: Ilustrasi cahaya kebenaran yang menembus kegelapan ego manusia

ppmindonesia.com.Jakarta – Manusia modern hidup di era transparansi, namun ironisnya sangat rapuh terhadap kritik. Budaya digital melahirkan generasi yang haus validasi, tetapi miskin ketahanan batin. Sebuah teguran kecil bisa dianggap serangan pribadi. Ucapan jujur sering ditafsirkan sebagai penghinaan.

Inilah tanda bahwa ego telah menjelma menjadi tameng yang melindungi luka spiritual yang belum sembuh. Padahal dalam perspektif Al-Qur’an, kritik—terutama yang membangun—bisa menjadi jalan penyembuhan jiwa, asalkan ego ditundukkan agar cahaya kebenaran bisa masuk dan menyinari hati.

وَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
“Dan janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa.” (QS An-Najm: 32)

Kritik sebagai Cermin Diri

Dalam tradisi Islam, kritik bukanlah bentuk permusuhan, tetapi sarana tazkiyah (penyucian jiwa). Kritik yang ikhlas ibarat cermin—ia tidak menciptakan cela, hanya memperlihatkan yang tersembunyi. Namun, ego sering menolak bercermin karena takut melihat kenyataan yang tak sesuai dengan citra diri.

أَفَمَن كَانَ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّهِ كَمَن زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ
“Apakah orang-orang yang telah diberi penerangan oleh Tuhannya itu sama dengan orang-orang yang kejahatannya tampak indah pada pandangan mereka, sedangkan mereka mengikuti hawa nafsu mereka sendiri?” (QS Muhammad: 14)

Ego menolak kebenaran bukan karena tidak tahu, tetapi karena tidak mau.

كُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌۢ بِمَا لَا تَهْوَىٰٓ أَنفُسُكُمُ ٱسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًۭا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًۭا تَقْتُلُونَ
“Setiap kali datang kepada kamu seorang rasul dengan membawa apa yang tidak sesuai dengan keinginanmu, maka kamu menyombongkan diri. Sebagian dari mereka kamu dustakan dan sebagian lainnya kamu bunuh.” (QS Al-Baqarah: 87)

Kesombongan di sini bukan hanya kepada Nabi, tetapi juga terhadap kebenaran yang bertentangan dengan ‘aku’ yang enggan dikoreksi.

Luka Batin dan Resistensi terhadap Kritik

Psikolog Muslim kontemporer Dr. Malik Badri dalam Contemplation: An Islamic Psychospiritual Study menjelaskan, resistensi terhadap kritik sering bukan karena isi kritik, melainkan karena luka batin yang belum sembuh. Ego menjadi pelindung psikologis terhadap trauma, harga diri yang rapuh, dan pengalaman masa lalu.

Saat seseorang dikritik, yang terasa bukan informasi, tapi ancaman terhadap diri. Maka wajar jika kritik menyakitkan—namun seperti luka yang dijahit, rasa sakit adalah bagian dari proses penyembuhan.

بَلِ الْإِنسَانُ عَلَىٰ نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ وَلَوْ أَلْقَىٰ مَعَاذِيرَهُ
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS Al-Qiyamah: 14–15)

Para Nabi dan Keteladanan Menerima Kritik

Nabi Muhammad ﷺ adalah teladan tertinggi dalam keteguhan menerima kritik. Meski dijaga dari dosa, beliau tetap terbuka terhadap masukan. Dalam Perjanjian Hudaibiyah, ketika para sahabat menunjukkan ketidaksetujuan, Nabi tidak marah, tapi mendengarkan dengan sabar.

Suatu kali, Abdullah bin Ummu Maktum, seorang buta, datang menyela pembicaraan Nabi dengan para pemuka Quraisy. Rasulullah sempat bermuka masam—lalu Allah menegurnya dengan lembut:

عَبَسَ وَتَوَلَّىٰٓ أَن جَآءَهُ ٱلْأَعْمَىٰ
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya.” (QS ‘Abasa: 1–2)

Teguran ini bukan bentuk celaan, tapi perhatian Tuhan terhadap kesempurnaan akhlak Nabi—dan pelajaran abadi bagi umat manusia: kritik adalah bentuk kasih sayang Ilahi.

Dari Kritik Menuju Kesembuhan Spiritual

Dalam Islam, kritik terbaik adalah yang disampaikan dengan hikmah dan kasih sayang, bukan dengan kemarahan atau penghinaan.

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ
“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik.” (QS An-Nahl: 125)

Namun pendengar juga harus membuka ruang di dalam hatinya. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan:

“Orang yang mencintai kebenaran akan berterima kasih kepada orang yang mengkritiknya, karena melalui mereka, Allah menunjukkan cacat diri yang tersembunyi.”

 Menerima kritik bukan tanda kelemahan, tetapi bukti kematangan spiritual. Tidak semua kritik benar, namun setiap kritik bisa jadi pesan Tuhan yang menyembuhkan.”

Menyembuhkan Jiwa, Merendahkan Ego

Kritik adalah obat, ego adalah racun. Dalam dunia yang serba personal dan emosional, kita perlu menghidupkan kembali etika Qurani dalam menanggapi kritik.

Tidak semua kritik harus dipercaya, tapi semua kritik bisa direnungkan. Karena bahkan dari musuh pun, Allah bisa menyampaikan pelajaran.

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan merugilah orang yang mengotorinya.” (QS Asy-Syams: 9–10)

Mari latih diri untuk tidak langsung membela diri saat dikritik, tapi bertanya dalam hati:
Adakah kebenaran yang Allah ingin sampaikan melalui ini?”

Dengan begitu, kita tidak hanya menyembuhkan luka batin, tapi juga membuka jalan menuju jiwa yang tenang — nafsul muthma’innah. (emha)

Example 120x600