ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah kemajuan peradaban dan keterbukaan akses ilmu, masih saja muncul perdebatan klasik yang tak kunjung usai: apakah musik haram? Padahal, jika ditelusuri secara jujur dari sumber tertinggi Islam—yakni Al-Qur’an—tidak ditemukan satu pun ayat yang secara eksplisit mengharamkan musik, nyanyian, atau bentuk seni suara lainnya.
Yang justru muncul adalah kecenderungan sebagian pihak untuk memfatwakan larangan atas dasar tafsir tekstual, sementara wahyu itu sendiri tidak pernah menegaskan demikian.
Musik, Fitnah, dan Tafsir yang Diseret ke Arah Haram
Dalam beberapa kitab tafsir klasik, istilah “lahwal hadits” pada QS Luqman ayat 6 sering dikaitkan dengan musik atau nyanyian. Padahal, jika ditelusuri konteks ayatnya, maknanya jauh lebih luas.
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْـحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan.” (QS Luqman [31]: 6)
Ayat ini tidak sedang berbicara tentang musik, tetapi tentang penggunaan ucapan dan narasi untuk menyesatkan dari jalan Allah. Tafsir yang mengaitkannya dengan alat musik hanyalah produk tafsir moral masyarakat pada masa itu, bukan hukum ilahi yang pasti.
Ketika Fatwa Menggeser Wahyu
Sebagian ulama terdahulu, seperti Ibn Qayyim al-Jauziyah dan Al-Ghazali, memiliki pandangan berbeda. Ibn Qayyim cenderung mengharamkan musik karena dianggap melalaikan, sementara Al-Ghazali justru menilai bahwa musik dapat menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah, bila isi dan niatnya suci.
Sayangnya, yang sering diikuti oleh masyarakat adalah pendapat paling keras, bukan paling rasional. Seolah-olah keindahan ciptaan Allah—dalam bentuk suara, irama, dan nada—adalah sesuatu yang harus dihindari, bukan disyukuri.
“Fatwa sering kali berubah menjadi pagar buatan manusia, sementara wahyu tetap terbuka bagi tafsir yang menyejukkan,” ujar Dr. M. Quraish Shihab dalam salah satu tafsirnya di Tafsir al-Mishbah.
“Mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan Allah adalah bentuk berlebih-lebihan dalam agama. Padahal Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”— (QS Al-A’raf [7]: 31)
Musik sebagai Bahasa Ciptaan
Jika musik dianggap maksiat, bagaimana mungkin Allah menciptakan harmoni suara burung, desiran angin, gemericik air, dan nada yang berulang dalam bacaan ayat-ayat Al-Qur’an sendiri?
Musik bukanlah lawan dari iman, melainkan pantulan dari keindahan ciptaan Allah yang memiliki irama, ritme, dan keseimbangan. Dalam konteks itu, larangan atas musik menjadi paradoks spiritual.
ٱلَّذِى خَلَقَ فَسَوَّىٰ وَٱلَّذِى قَدَّرَ فَهَدَىٰ
“Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya). Yang menentukan kadar dan memberi petunjuk.” (QS Al-A’la [87]: 2–3)
Ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu di alam ini diciptakan dengan ukuran dan harmoni. Maka, bagaimana mungkin harmoni—yang merupakan unsur dasar musik—dipandang sebagai sesuatu yang kotor?
Dari Keindahan Menjadi Ketakutan
Yang terjadi justru sebaliknya. Banyak umat Islam diajarkan untuk takut terhadap keindahan. Musik, lukisan, bahkan puisi, sering dipandang sebagai jalan menuju kelalaian. Padahal, Rasulullah SAW sendiri membiarkan para budak perempuan bernyanyi di hadapannya pada hari raya tanpa melarang.
Dalam sebuah riwayat sahih disebutkan, Aisyah RA berkata:
“Dua budak perempuan bernyanyi di rumahku pada hari ‘Idul Fitri. Rasulullah masuk dan berbaring di tempat tidur sambil memalingkan wajahnya. Lalu Abu Bakar datang dan menegur, ‘Seruling setan di rumah Rasulullah?’ Maka Nabi berkata, ‘Biarkan mereka, wahai Abu Bakar. Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.’”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini justru menunjukkan toleransi Rasul terhadap ekspresi kegembiraan dan seni suara, bukan pengharaman.
Saatnya Kembali pada Wahyu
Musik bukanlah haram. Yang haram adalah penggunaan musik untuk menyesatkan, melalaikan, atau menjerumuskan manusia dari nilai-nilai kebenaran. Maka yang harus dikritik bukanlah nadanya, tapi niat dan dampaknya.
Ketika manusia lebih mengagungkan fatwa daripada wahyu, di situlah agama kehilangan jiwanya. Sebab, Allah tidak pernah memerintahkan kita untuk membenci keindahan. Justru, Dia memerintahkan agar manusia bersyukur atasnya.
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
“Katakanlah: Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik?” (QS Al-A’raf [7]: 32)
Maka, bila musik mampu menggetarkan hati untuk mengingat Allah, menyentuh nurani untuk berbuat baik, dan menumbuhkan rasa syukur, itu bukanlah dosa—melainkan ibadah dalam bentuk yang lain.(emha)
 













 
									

 












