ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah derasnya perdebatan antara “pengikut sunnah” dan “penegak syariat”, sering kali umat Islam terjebak pada kulit ibadah, bukan maknanya yang hakiki. Banyak yang memandang ibadah hanya sebagai kewajiban formal, padahal Al-Qur’an memaknai ibadah sebagai jalan menuju tunduk, sadar, dan terhubung dengan Allah.
Ibadah dalam Al-Qur’an: Jalan Penyerahan, Bukan Sekadar Tindakan
Dalam banyak ayat, Al-Qur’an mengaitkan ibadah dengan kesadaran batin, bukan rutinitas fisik. Salah satunya dalam firman Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat [51]: 56)
Ayat ini tidak menjelaskan bentuk ibadah, melainkan tujuan penciptaan manusia: agar menyadari kehadiran dan kehendak Allah dalam setiap aspek kehidupan.
Ibadah, dalam konteks Qur’ani, berarti tunduk dengan kesadaran — bukan hanya melakukan serangkaian ritual. Karena itu, Nabi Muhammad ﷺ tidak datang untuk menambah ritual baru, tetapi untuk menghidupkan makna ibadah yang murni.
Sunnah: Teladan Kesadaran, Bukan Sekadar Tradisi
Kata sunnah dalam Al-Qur’an tidak hanya merujuk pada perbuatan Nabi, tetapi juga hukum Allah yang berlaku tetap.
سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلُ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا
“(Itulah) sunnah Allah yang telah berlaku sejak dahulu; dan kamu tidak akan menemukan perubahan bagi sunnah Allah.” (QS Al-Fath [48]: 23)
Sunnah Nabi adalah refleksi hidup dari sunnah Allah — yaitu pola kehidupan yang sesuai dengan hukum alam, keadilan, dan kasih sayang. Dengan kata lain, mengikuti sunnah bukan hanya meniru gerak tubuh Nabi, tetapi meniru kesadaran Nabi dalam menghadirkan Allah dalam setiap keputusan hidup.
“Sunnah sejati adalah jalan kesadaran, bukan sekadar kebiasaan; sedangkan syariat adalah pagar moral agar manusia tidak tersesat dari fitrahnya.”
Syariat: Sistem Etika, Bukan Belenggu Hukum
Istilah syariat sering diidentikkan dengan hukum, padahal secara harfiah berarti jalan menuju sumber air — jalan yang menuntun manusia kepada kehidupan yang bersih dan jernih.
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا
 “Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) berada di atas syariat (aturan) dari urusan itu, maka ikutilah ia.” (QS Al-Jatsiyah [45]: 18)
Syariat bukan tujuan akhir, melainkan alat menuju ketaqwaan. Jika seseorang menjalankan syariat tanpa memahami ruhnya, maka ibadah berubah menjadi kebiasaan tanpa makna.
Dari Ritual ke Kesadaran
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Ia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Hadis ini mengingatkan, bahwa ukuran nilai ibadah bukan pada bentuknya, tetapi pada ketulusan dan kesadarannya.
 Ketika seseorang shalat, berpuasa, atau berhaji tanpa menghadirkan makna ilahiah, maka yang tersisa hanyalah gerak tanpa ruh.
“Syariat mengatur tubuh; sunnah menuntun hati; dan keduanya bertemu dalam ibadah yang sadar — bukan ibadah yang sekadar rutinitas.”
Mencari Kembali Ibadah yang Mendidik Jiwa
Esensi ibadah dalam Qur’an adalah tazkiyah, penyucian jiwa.
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
“Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya.” (QS Asy-Syams [91]: 9)
Dengan demikian, sunnah dan syariat bukan dua kutub yang bertentangan, melainkan dua sisi dari satu jalan menuju Allah.
 Syariat menjaga agar manusia tetap di jalan lurus, sedangkan sunnah menuntun bagaimana hati berjalan di dalamnya.
 Ibadah sejati adalah ketika aturan berubah menjadi cinta, dan ketaatan menjadi kesadaran(emha)
 













 
									

 












