ppmindonesia.com.Jakarta– Ketika Al-Qur’an berbicara tentang iblis dan setan, banyak orang membayangkan makhluk halus bertanduk yang menggoda manusia. Namun, tafsir Qur’ani yang mendalam menunjukkan bahwa “setan” tidak selalu berbentuk makhluk gaib — ia bisa berwujud manusia, ideologi, bahkan sistem sosial yang mengajak manusia berpaling dari nilai-nilai ilahi.
Dalam konteks modern, “setan” bisa berarti segala mekanisme yang menipu, menindas, dan menjerumuskan hati nurani.
Iblis: Kesombongan Intelektual Pertama
Kisah iblis dimulai bukan dari kejahatan, tapi dari kesombongan berpikir— merasa lebih tinggi dari makhluk lain.
قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ
“Aku lebih baik darinya; Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Al-A‘raf [7]: 12)
Iblis menolak sujud bukan karena tidak mengenal Allah, tetapi karena menolak tatanan Ilahi yang menempatkan manusia sebagai khalifah.
Inilah bentuk pertama kesombongan struktural: menolak kebenaran demi mempertahankan hierarki ego dan identitas.
Setan: Dari Makhluk ke Sistem
Dalam Al-Qur’an, istilah setan (شَيْطَان) muncul lebih dari 80 kali, dan tidak selalu menunjuk pada iblis tunggal.
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ
Demikianlah Kami jadikan bagi setiap nabi musuh dari setan-setan manusia dan jin.” (QS Al-An‘am [6]: 112)
Ayat ini menunjukkan bahwa setan bukan hanya jin, tetapi juga manusia yang menyebarkan kebohongan, manipulasi, dan ketidakadilan.
Dalam konteks sosial, setan bisa berwujud sistem yang menormalisasi kebatilan — korupsi, ketimpangan ekonomi, atau politik yang menipu atas nama kebenaran.
“Setan hari ini bukan hanya berbisik di telinga, tapi berbicara lewat kebijakan, pasar, dan media yang membelokkan nilai kemanusiaan.”
Setan sebagai Pola Kekuasaan
Ketika kebenaran dimanipulasi oleh kekuasaan, ketika kemiskinan dijaga agar ekonomi tetap berputar — di sanalah sistem kesetanan bekerja.
Al-Qur’an menggambarkan tipu daya sistemik ini dengan istilah tazyin (perhiasan kebatil:
وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ
Dan setan menjadikan indah bagi mereka perbuatan-perbuatan mereka.” (QS An-Nahl [16]: 63)
Kata “zayyana” (زَيَّنَ) berarti menghias sesuatu agar tampak baik. Itulah cara kerja setan modern — membungkus keburukan dalam retorika kebaikan, sehingga manusia sulit membedakannya.
Setan tidak lagi menakutkan, tetapi **menawan.
Melawan Setan: Melawan Pola dan Sistemnya
Al-Qur’an tidak pernah memerintahkan manusia untuk membunuh setan, karena setan bukan sekadar entitas fisik. Yang diperintahkan adalah berlindung dan melawan bisikannya (waswas)**.
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ**
Apabila engkau membaca Al-Qur’an, maka berlindunglah kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS An-Nahl [16]: 98)
Perlawanan terhadap setan bukan perang fisik, melainkan pencerahan intelektual dan moral.
Membaca Qur’an, berpikir kritis, menolak ketidakadilan, dan menegakkan kebenaran — semuanya adalah bentuk jihad melawan sistem kesetanan.
Melawan setan berarti melawan struktur yang menipu akal dan menumpulkan nurani.”
Setan Ada di Dalam dan di Luar Diri
Setan dalam Al-Qur’an adalah simbol kesadaran yang tergelincir — baik dalam individu maupun masyarakat.
Ia bisa menjadi *pikiran yang congkak, hawa nafsu yang tak terkendali, atau sistem sosial yang tidak adil.
إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah.”* (QS An-Nisa [4]: 76)
Ayat ini menegaskan bahwa kekuatan setan bukan pada dirinya, tetapi pada kelengahan manusia.
Ketika manusia sadar, berpikir, dan berpegang pada nilai Qur’ani — sistem kesetanan, sekuat apa pun, akan runtuh dengan sendirinya. (emha)
 













 
									

 












