Scroll untuk baca artikel
BeritaTokoh

Mas Husni Nasution: Sang Pencinta Al-Qur’an yang Menerangi Jalan dengan “Qur’an bil Qur’an”

64
×

Mas Husni Nasution: Sang Pencinta Al-Qur’an yang Menerangi Jalan dengan “Qur’an bil Qur’an”

Share this article

Penulis; asyary hasan| Editor: asyary

Ilustrasi kajian Al-Qur’an dan semangat dakwah bil hikmah

ppmindonesia.com.Jakarta – Saya mengenal Husni Nasution — atau yang akrab saya panggil Mas Husni — sejak tahun 1999. Pertemuan itu terjadi di kantor Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) di Kalibata, Jakarta Selatan. Saat itu, Mas Husni aktif sebagai salah satu pengurus PPM Nasional, di bawah kepemimpinan Sekjen Ki Suratno Hayuningrat. Dari perkenalan yang sederhana itu, tumbuh persahabatan dan ikatan pemikiran yang panjang hingga akhir hayatnya.

Awal yang Lucu, Perjalanan yang Bermakna

Awalnya, ia bahkan keliru mengenali saya. Ia kira saya adalah Husen, saudara kembar saya, yang memang lebih dulu bergabung dan aktif di PPM sejak masa kuliah. Setelah dua tahun berinteraksi, barulah ia sadar bahwa yang menemaninya berdiskusi tentang program-program PPM bukanlah Husen, melainkan Hasan. Kami tertawa bersama mengenang kekeliruan itu—sebuah awal dari persahabatan yang kemudian sarat makna, ilmu, dan perjalanan spiritual.

Dari kekeliruan kecil itulah tumbuh persahabatan yang hangat dan mendalam. Kami sering berdiskusi hingga larut malam, membahas bukan hanya soal organisasi, tapi juga hakikat iman dan makna Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.

Seorang Penelaah Qur’an yang Tekun dan Merdeka

Mas Husni adalah sosok yang tekun menelaah **Al-Qur’an**, dengan pendekatan yang ia sebut sebagai **“Qur’an bil Qur’an”** — menafsirkan ayat dengan ayat. Prinsipnya sederhana namun dalam: bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang saling menjelaskan dirinya sendiri, lengkap, dan terperinci. Tiap kali kami bertemu, obrolan kami nyaris tak pernah lepas dari pembahasan tentang Al-Qur’an: bagaimana ayat-ayatnya bisa diterapkan, dimaknai, dan dihidupkan dalam keseharian.

Ia sering berkata, “Al-Qur’an bukan untuk dibaca saja, tapi untuk dipelajari dan diimplementasikan. Kalau kita sungguh-sungguh mempelajari Al-Qur’an, jangan takut salah, karena Allah pasti memberi petunjuk. Itu janji-Nya.”

Mas Husni bukan hanya pembaca, tapi juga penghayat Al-Qur’an. Ia meneliti ayat demi ayat, memahami keterkaitan antara satu surat dengan surat lain. Ia mengingat dan menguasai kandungan makna ayat secara tematik, seperti seseorang yang hidup di dalamnya. Tak heran bila ia pernah aktif  di Majalah Ulumul Qur’an, majalah ilmiah yang banyak mengulas filsafat, ilmu agama, dan humaniora.

Dakwah yang Teguh di Tengah Tekanan

Pada masa Orde Baru, dakwah Mas Husni seringkali tak mudah. Ia kerap diundang oleh masyarakat kampung dan kota untuk berbicara tentang Islam yang murni, namun tidak jarang pula **dipanggil aparat atau Koramil** karena dianggap menyimpang. Tuduhan “ajaran sesat” pernah beberapa kali diarahkan padanya, termasuk oleh sebagian kalangan ulama. Namun, setelah berdialog dan menjelaskan pandangannya yang bersumber langsung dari Al-Qur’an, banyak yang akhirnya justru mengakui kedalaman ilmunya.

Ia tak pernah marah atau merasa terzalimi. Katanya dengan senyum tenang,

“Manusia boleh salah paham, tapi ayat-ayat Allah tidak akan pernah salah.”

Diskusi dan Perjalanan Intelektual

Banyak malam kami habiskan untuk berdiskusi—kadang di warung kopi sederhana, sambil mengisap rokok dan menertawakan hidup. Tema-tema yang dibahas meluas: **shalat, zakat, sedekah, puasa, haji, syahadat**, dan semua yang berakar pada Al-Qur’an. Dari obrolan itu lahir kesadaran bersama: bahwa pengetahuan kita tentang Islam sejatinya belum seujung kuku hitam, karena luasnya samudra makna Al-Qur’an.

“Kadang kita ini belum pantas menyebut diri *muslim*, karena belum sepenuhnya menyerahkan diri pada Allah,” katanya lirih suatu malam. “Kita sering marah saat musibah datang, seolah Allah murka, padahal semua itu akibat perbuatan manusia sendiri — kita yang merusak alam, menebang pohon, mengundang banjir dan longsor.”

Dari kata-kata itu saya belajar tentang rendah hati dalam beragama, bahwa tidak ada ruang untuk kesombongan dalam memahami wahyu.

Syahida: Warisan Pemikiran yang Tersisa

Sekitar dua tahun terakhir sebelum wafatnya, kami bersepakat untuk mendokumentasikan pemikiran-pemikiran Qurani itu dalam bentuk tulisan. Kami menyebutnya “Kanal Syahida”, wadah kajian tafsir Qur’an bil Qur’an yang diterbitkan melalui situs ppmindonesia.com, rubrik *Hikmah*.

Lewat kanal inilah, Mas Husni ingin menghadirkan wajah Islam yang hidup, rasional, dan membumi—Islam yang berpijak pada ayat-ayat Allah, bukan semata pada tafsir manusia. Diskusi kami berlangsung hingga larut malam, bahkan kadang lewat WhatsApp, membahas satu ayat ke ayat lain dengan penuh semangat.

Namun, sekitar dua puluh hari sebelum kepergiannya, Mas Husni tiba-tiba menghilang dari percakapan. Tak ada kabar di grup “Syahida”, tak ada balasan pesan. Saya sempat mendatangi tempat tinggalnya di Citayam, Bogor—mengira ia sedang keluar kota. Beberapa hari kemudian, kabar datang: beliau sempat dirawat di rumah sakit, pulang ke rumah, lalu **pada Selasa, 22 Oktober 2025**, Allah memanggilnya pulang. *Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.*

Kata-Kata Terakhir dan Kenangan yang Abadi

Pesan terakhirnya masih terngiang di benak saya:

“Tetap semangat dengan kajian tafsir Qur’an bil Qur’an. Soal orang menerima atau tidak, suka atau tidak, itu urusan mereka. Yang penting kita sampaikan ayat-ayat Al-Qur’an. Karena umat ini sudah terlalu lama lupa bahwa Al-Qur’an adalah milik semua, bukan untuk segelintir orang.”*

Kini, setelah kepergiannya, saya merasakan kekosongan yang dalam. Ia bukan sekadar sahabat, tapi juga guru, penuntun dalam memahami agama dan kehidupan. Dalam dirinya saya melihat ketulusan seorang pencari kebenaran, seorang dai yang berdiri tegak di atas dasar wahyu, bukan popularitas atau tradisi.

Mas Husni Nasution telah kembali kepada Sang Pencipta — yang dahulu meniupkan ruh kehidupan, kini memanggilnya pulang dengan lembut. Namun cahaya pemikirannya tetap menyala dalam hati kami yang pernah belajar bersamanya.

Kami akan melanjutkan langkahnya, menghidupkan kembali semangat “Qur’an bil Qur’an”, agar Al-Qur’an benar-benar menjadi pedoman, bukan sekadar bacaan.
Selamat jalan, Mas Husni.
Semoga Allah menempatkanmu di sisi orang-orang yang beriman dan ikhlas.

Redaksi Hikmah – Republika.co.id
Tulisan ini dipersembahkan untuk mengenang almarhum Husni Nasution, tokoh dan penggerak dakwah Qur’ani di lingkungan Pusat Peranserta Masyarakat (PPM)

Example 120x600