ppmindonesia.com.Jakarta – Istilah pemberdayaan sering terdengar di banyak ruang. Namun di balik kata yang tampak mulia itu, ada persoalan mendasar yang sering luput: siapa yang benar-benar berkomitmen dan memiliki tanggung jawab terhadap gerakan pemberdayaan itu sendiri?
Dalam konteks Pusat Peranserta Masyarakat (PPM), pertanyaan ini menjadi semakin relevan. Sebagai organisasi yang telah berkiprah sejak awal 1990-an, PPM telah melahirkan banyak aktivis, lembaga, dan inisiatif sosial di berbagai daerah. Namun, seiring berkembangnya jaringan dan individu yang bergerak di lapangan, batas antara kegiatan organisasi dan kegiatan pribadi sering kali menjadi kabur.
Makna Kepemilikan dalam Gerakan PPM
PPM berdiri dengan semangat partisipasi dan kemandirian. Melalui struktur nasional, wilayah, dan daerah, organisasi ini menumbuhkan jaringan lembaga swadaya fungsional (LSF) — koperasi, kelompok masyarakat, atau lembaga pelatihan — yang menjadi mitra binaan resmi.
Namun, tidak semua lembaga yang digerakkan oleh aktivis PPM otomatis menjadi milik organisasi. Kepemilikan dalam PPM tidak ditentukan oleh siapa yang mendirikan atau menjalankan, tetapi oleh komitmen, kesepahaman, dan pengakuan kelembagaan.
“Kepemilikan sejati dalam gerakan PPM adalah kepemilikan nilai dan tanggung jawab, bukan kepemilikan nama atau aset,” ujar Eko Suryono Ketua Presidium PPM Nasional dalam rapat konsolidasi, 2025.
Ketika Nama PPM Disalahpahami
Di beberapa daerah, muncul inisiatif pemberdayaan masyarakat yang dipelopori oleh individu yang pernah aktif di PPM, namun tidak terikat secara formal dengan struktur PPM daerah. Dalam kasus seperti ini, kegiatan tersebut tidak dapat secara otomatis diklaim sebagai milik organisasi.
Sebaliknya, PPM juga tidak berhak mengklaim kepemilikan atas lembaga yang secara kelembagaan berdiri independen, meskipun dijalankan oleh alumni atau aktivisnya. Prinsip ini penting untuk menjaga transparansi, integritas, dan kejelasan tanggung jawab moral dalam gerakan pemberdayaan.
“Pemberdayaan tanpa komitmen kelembagaan hanya akan menjadi aktivitas pribadi yang kehilangan arah perjuangan.”
Kekuatan di Balik Komitmen
Komitmen dalam organisasi bukan sekadar formalitas administratif. Ia adalah bentuk kedewasaan sosial — sebuah kesediaan untuk menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.
Dalam gerakan PPM, komitmen ini tercermin dari disiplin berorganisasi, koordinasi antarwilayah, dan transparansi dalam setiap kerja sama dengan pihak luar. Tanpa komitmen, semangat pemberdayaan mudah tereduksi menjadi sekadar proyek pribadi, bukan gerakan sosial yang berkelanjutan.
Kita tidak sedang membangun lembaga untuk memperkaya diri, tapi untuk memperkuat masyarakat agar mampu berdiri di atas kakinya sendiri.” Pernyataan Sekretaris Jenderal PPM Nasional ke ppmindonesia.com
Membedakan Pemberdayaan dan Pemanfaatan
Perlu disadari bahwa pemberdayaan yang sejati tidak hanya mengajarkan masyarakat untuk produktif, tetapi juga membangun kesadaran kritis dan tanggung jawab sosial. PPM berdiri di atas nilai itu — menolak segala bentuk pemanfaatan lembaga untuk kepentingan segelintir orang.
Di sinilah pentingnya membangun budaya akuntabilitas dan rasa memiliki yang kolektif. Karena hanya dengan komitmen yang jujur dan disiplin organisasi yang terjaga, PPM dapat terus menjadi wadah pembelajaran dan pengabdian yang bermartabat.
Menjaga Marwah Gerakan
PPM menyadari, perjalanan panjangnya tidak selalu mulus. Dari masa kejayaan di era 90-an hingga kini, banyak dinamika terjadi — namun satu hal tetap harus dijaga: marwah organisasi sebagai lembaga yang bekerja untuk masyarakat, bukan atas nama pribadi.
Menjaga marwah berarti menjaga kepercayaan. Bagi PPM, itu adalah amanah yang harus dijaga oleh setiap pengurus, anggota, dan alumni, di mana pun mereka berada.
“Gerakan sosial akan tetap hidup selama ada komitmen moral dan kejujuran di dalamnya.”
Kemandiran yang Bermanfaat
Pemberdayaan bukan sekadar program, bukan pula label yang bisa disematkan dengan mudah. Ia adalah proses panjang yang menuntut integritas, konsistensi, dan kesadaran kolektif.
Bagi PPM, memahami makna kepemilikan dan komitmen bukan hanya soal siapa yang berhak atas lembaga atau program, tetapi tentang bagaimana menjaga nilai-nilai dasar: amanah, partisipasi, dan tanggung jawab sosial.
Hanya dengan itu, pemberdayaan akan kembali pada maknanya yang sejati — bukan sekadar nama, melainkan jalan menuju kemandirian yang bermartabat.(acank)
 













 
									

 












