ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam dunia pemberdayaan masyarakat, garis antara kepentingan lembaga dan kepentingan pribadi sering kali menjadi kabur. Banyak aktivis yang bergerak dengan semangat tinggi, namun tanpa disadari melewati batas yang membedakan antara amanah organisasi dan inisiatif individu.
Pusat Peranserta Masyarakat (PPM), sebagai lembaga yang telah lama berkiprah dalam gerakan pemberdayaan sejak era 1990-an, memandang penting untuk menegaskan kembali batas tersebut. Menjaga marwah organisasi berarti memastikan setiap gerak langkah tetap berada dalam koridor nilai, struktur, dan komitmen bersama.
Struktur yang Jelas, Tanggung Jawab yang Terukur
Sebagai organisasi berjejaring nasional, PPM memiliki tatanan struktural yang meliputi tingkat nasional, wilayah, hingga daerah. PPM Wilayah dan Daerah berfungsi sebagai perpanjangan tangan PPM Nasional dalam melaksanakan program-program pemberdayaan, sekaligus membina Lembaga Swadaya Fungsional (LSF) di bawah koordinasinya.
LSF ini dapat berupa koperasi, yayasan, kelompok masyarakat, atau lembaga pelatihan yang memiliki kesepahaman dan komitmen formal dengan PPM. Melalui sistem ini, setiap kegiatan di daerah memiliki garis pertanggungjawaban yang jelas dan dapat diukur secara kelembagaan.
“Organisasi yang sehat tumbuh dari kedisiplinan, bukan dari klaim atau nama besar masa lalu,” ujar Anwar Hariyono Sekretaris Jenderal PPM Nasional .
Ketika Gerakan dan Kepentingan Pribadi Bertemu
Dalam praktiknya, tidak semua daerah memiliki struktur PPM yang lengkap. Di sejumlah wilayah, para aktivis atau alumni PPM mendirikan lembaga atau koperasi secara mandiri.
PPM menghormati inisiatif tersebut sebagai bagian dari semangat kemandirian, namun secara kelembagaan, lembaga tersebut tidak otomatis menjadi bagian dari PPM tanpa adanya komitmen atau kesepakatan formal.
Demikian pula sebaliknya: tidak setiap kegiatan yang melibatkan individu berlatar belakang PPM dapat diklaim sebagai program organisasi. Prinsip ini penting agar tidak terjadi penyalahgunaan nama lembaga, terutama dalam kerja sama dengan pihak pemerintah maupun swasta.
Etika Organisasi dan Akuntabilitas Moral
PPM menegaskan bahwa mengatasnamakan organisasi tanpa mandat resmi merupakan bentuk pelanggaran etika dan integritas kelembagaan. Karena itu, setiap kerja sama, perjanjian, atau kegiatan yang menggunakan nama PPM harus dilakukan melalui mekanisme resmi dan sepengetahuan struktur organisasi di tingkat yang bersangkutan.
“Menjaga marwah organisasi berarti menempatkan kepentingan lembaga di atas kepentingan pribadi, demi kepercayaan masyarakat yang telah dibangun bertahun-tahun.”
Dalam konteks pemberdayaan, kepercayaan adalah modal utama. Sekali nama lembaga tercoreng oleh tindakan individu yang tidak bertanggung jawab, butuh waktu lama untuk mengembalikan kredibilitas dan kehormatan organisasi.
Dari Aktivis ke Penggerak Mandiri
PPM juga mengapresiasi para aktivisnya yang telah berkembang menjadi pengusaha, pelatih, atau tokoh masyarakat yang mandiri. Hal ini merupakan bukti bahwa semangat pemberdayaan telah berbuah nyata.
Namun PPM mengingatkan, kemandirian tersebut hendaknya tidak meniadakan rasa tanggung jawab moral terhadap lembaga yang telah menjadi wadah pembelajaran dan perjuangan bersama.
“Pemberdayaan sejati bukan berarti meninggalkan lembaga, tapi menumbuhkan nilai-nilai kemandirian yang berakar dari etika organisasi,” ujar salah satu Dewan Penasihat PPM.
Meneguhkan Disiplin dan Integritas Gerakan
Kini, ketika tantangan sosial dan ekonomi semakin kompleks, PPM memandang pentingnya revitalisasi gerakan. Kekuatan masa depan PPM tidak semata pada banyaknya program, tetapi pada disiplin, kesepahaman, dan integritas moral para anggotanya.
Menjaga marwah organisasi bukan sekadar menjaga nama, melainkan menjaga ruh perjuangan: agar pemberdayaan tidak terjebak menjadi proyek pribadi, dan agar lembaga tetap menjadi rumah besar bagi mereka yang bekerja dengan keikhlasan dan tanggung jawab.
Sebagai Penutup
PPM berdiri bukan untuk mencari pengakuan, tetapi untuk melayani masyarakat. Tidak untuk memperkaya segelintir orang, tetapi untuk menumbuhkan kemampuan masyarakat agar berdiri di atas kakinya sendiri.
Karena itu, menjaga batas antara kepentingan lembaga dan pribadi bukan sekadar persoalan administratif, melainkan wujud nyata dari tanggung jawab moral terhadap perjuangan yang telah diwariskan oleh para pendiri gerakan ini.(acank)
 













 
									

 












