ppmidonesia.com. Jakarta– Indonesia adalah negeri kaya energi, namun hingga kini masih terjebak dalam paradoks yang menyesakkan: bahan bakar minyak (BBM) yang dihasilkan dari perut bumi sendiri justru sering kali lebih banyak menguntungkan pihak luar negeri daripada rakyatnya sendiri. Fenomena ini mencerminkan apa yang banyak disebut para pengamat sebagai “ironi energi nasional”.
Produksi minyak mentah nasional mencapai lebih dari 600 ribu barel per hari, namun kemampuan kilang domestik masih jauh dari memadai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Akibatnya, sebagian besar minyak mentah diekspor, lalu diimpor kembali dalam bentuk BBM siap pakai — dengan harga lebih mahal.
“Ini seperti menanam padi, tapi membeli beras dari orang lain. Kita kaya sumber daya, tapi miskin kedaulatan energi,”
Kaya Sumber Daya, Miskin Infrastruktur
Indonesia memiliki cadangan minyak sekitar 2,5 miliar barel, dan potensi gas alam yang sangat besar, terutama di kawasan timur seperti Papua dan Maluku. Namun, kapasitas kilang nasional yang tidak pernah bertambah signifikan sejak era 1990-an membuat negeri ini terus bergantung pada impor BBM.
Proyek pembangunan dan revitalisasi kilang, seperti Refinery Development Master Plan (RDMP) di Balikpapan dan Grass Root Refinery (GRR) di Tuban, sempat digadang-gadang menjadi solusi. Namun, progresnya berjalan lambat, bahkan tersendat karena persoalan investasi, perizinan, dan tata kelola.
Subsidi dan Distorsi Pasar
Kebijakan subsidi energi yang besar juga menjadi dilema klasik. Di satu sisi, pemerintah ingin menjaga daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah. Di sisi lain, subsidi BBM yang mencapai lebih dari Rp200 triliun per tahun justru dinilai tidak tepat sasaran dan kerap menguntungkan sektor industri serta kalangan mampu.
“Subsidi energi tanpa transformasi sistem produksi hanya menambal luka tanpa menyembuhkan penyakitnya,”
Ironi di Tengah Krisis Global
Kenaikan harga minyak dunia dan ketidakpastian geopolitik menambah kompleksitas situasi. Sementara negara-negara lain berlomba menuju kemandirian energi, Indonesia masih bergulat dengan ketergantungan struktural pada impor BBM dan energi fosil.
Pemerintah memang mulai mendorong transisi menuju energi baru terbarukan (EBT). Namun kontribusi EBT dalam bauran energi nasional baru mencapai sekitar 13 persen, jauh dari target 23 persen pada 2025. Keterlambatan ini kembali menunjukkan lemahnya kemauan politik dan arah strategis nasional dalam membangun kedaulatan energi.
Kemandirian Energi, Jalan Panjang Menuju “Untung untuk Negeri”
Kemandirian energi bukan sekadar soal produksi minyak atau listrik. Ia adalah soal kedaulatan ekonomi dan keadilan sosial. Ketika hasil bumi lebih banyak mengalir ke luar negeri daripada menyejahterakan rakyat, maka yang terjadi bukan kemajuan, melainkan pengulangan sejarah ketergantungan kolonial dalam bentuk baru.
“Energi seharusnya menjadi berkah, bukan beban. Selama tata kelola kita berpihak pada investor asing dan bukan rakyat sendiri, maka BBM dari negeri sendiri tetap akan jadi untung bagi negeri orang.”
Dari Ironi Menuju Aksi
Transformasi energi nasional menuntut keberanian politik dan disiplin kebijakan. Perlu langkah tegas memperkuat hilirisasi, membangun kilang dalam negeri, serta mengalihkan subsidi konsumtif menjadi investasi produktif.
Ironi energi Indonesia hanya bisa diakhiri jika “BBM dari negeri sendiri benar-benar untuk negeri sendiri” — bukan sekadar slogan, tapi tekad yang diwujudkan dalam kebijakan nyata.(acank)
 













 
									

 












