Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Jangan Salah Faham: Ini Batas Antara Kegiatan PPM dan Kepentingan Pribadi

20
×

Jangan Salah Faham: Ini Batas Antara Kegiatan PPM dan Kepentingan Pribadi

Share this article

Penulis: acank | Editor: asyary |

(Foto ilustrasi: Aktivis PPM dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat di desa binaan. (Dok. ppm)

ppmindonesia.com,Jakarta Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) dikenal sebagai lembaga jejaring pemberdayaan masyarakat yang telah berkiprah sejak dekade 1980-an. Namun, di tengah berkembangnya inisiatif di berbagai daerah, muncul tantangan baru: batas antara kegiatan organisasi dan kepentingan pribadi kerap kali kabur.

Padahal, dalam sistem organisasi PPM, garis koordinasi dan tanggung jawab kelembagaan sudah diatur dengan jelas—mulai dari tingkat nasional, wilayah, hingga lembaga swadaya fungsional (LSF) yang menjadi mitra dan binaan di daerah.

Struktur Organisasi yang Terpadu

PPM wilayah atau daerah merupakan kepanjangan tangan dari PPM Nasional. Fungsinya bukan hanya sebagai pelaksana program, tetapi juga sebagai pembina bagi LSF atau lembaga fungsional seperti koperasi, kelompok masyarakat, dan lembaga pelatihan.

LSF ini bisa saja dibentuk oleh aktivis atau alumni PPM, selama ada kesepahaman, komitmen, dan pengakuan formal sebagai bagian dari jaringan binaan PPM daerah. Dengan cara itu, setiap kegiatan dapat dipertanggungjawabkan secara kelembagaan, tidak sekadar atas nama pribadi.

 “Organisasi yang besar bukan hanya karena banyaknya kegiatan, tapi karena tertibnya sistem dan disiplin anggotanya,” — ujar Awar Hariyono Sekretaris Jenderal PPM Nasional. .

Ketika Tidak Ada PPM Daerah

Dalam beberapa kasus, terdapat daerah yang belum memiliki struktur resmi PPM. Bila di daerah tersebut ada kegiatan pemberdayaan masyarakat atau pendirian lembaga seperti koperasi dan LSM, maka secara kelembagaan, kegiatan tersebut bukan milik PPM, meskipun digerakkan oleh individu yang pernah aktif di lingkungan PPM.

Kegiatan seperti ini bersifat pribadi atau independen, kecuali ada kesepakatan tertulis yang menyatakan keterikatan dengan organisasi PPM. Dengan demikian, PPM tidak berhak mengklaimnya sebagai program lembaga, dan sebaliknya individu juga tidak berhak menggunakan nama PPM untuk kegiatan yang bersifat pribadi.

Menjaga Etika dan Marwah Organisasi

Hal yang sama berlaku di wilayah yang telah memiliki struktur PPM daerah. Jika ada kegiatan masyarakat, LSF, atau koperasi yang tidak memiliki kesepahaman dan komitmen formal dengan PPM, maka kegiatan tersebut tetap berdiri sebagai entitas pribadi.

Menjaga kejelasan batas antara lembaga dan individu menjadi penting, terutama ketika menyangkut kerja sama dengan pihak luar—baik pemerintah maupun swasta. Setiap kesepakatan atas nama PPM harus memiliki dasar hukum dan legitimasi organisasi yang jelas, agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.

“Mengatasnamakan lembaga tanpa mandat resmi bukan hanya menyalahi etika organisasi, tapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap gerakan pemberdayaan.”

Dari Pemberdayaan ke Kemandirian

PPM menyadari bahwa dinamika organisasi saat ini tidak sekuat era 1990-an, ketika gerakan pemberdayaan masyarakat menjadi kekuatan sosial yang masif di berbagai wilayah. Namun semangat itu masih bisa dihidupkan kembali — melalui kedisiplinan, kejelasan struktur, dan komitmen moral setiap aktivisnya.

PPM juga menyambut baik jika para alumninya kini menjadi pengusaha, tokoh masyarakat, atau pelaku sosial yang mandiri. Hal itu justru menandakan keberhasilan misi PPM dalam menumbuhkan kemandirian dan nilai keberdayaan di tengah masyarakat.

PPM Membutuhkan Komitmen

PPM tidak membutuhkan pengakuan, tetapi komitmen. Tidak menuntut belas kasihan, melainkan keteladanan. Karena sejatinya, PPM berdiri bukan untuk memperkaya anggotanya, tetapi untuk memberdayakan manusia agar mampu berdiri di atas kaki sendiri.

Sebagaimana pesan yang terus diwariskan dalam gerakan ini:

 “Pemberdayaan sejati adalah ketika masyarakat mampu menggerakkan dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada siapa pun.”(acank)

Example 120x600