ppmindonesia.com.Jakarta — Selama ini, banyak umat Islam memahami zakat sebatas potongan 2,5 persen dari harta. Padahal, dalam perspektif Al-Qur’an, zakat bukan angka, melainkan sistem pertumbuhan dan penyucian — baik bagi jiwa maupun tatanan sosial.
Konsep zakat dalam Qur’an bil Qur’an memperlihatkan bahwa yang ingin dibangun Allah bukan sekadar ibadah finansial, melainkan ekonomi tauhid yang hidup, dinamis, dan berkeadilan.
Makna Zakat dalam Al-Qur’an: Tumbuh dan Suci
Kata zakat berasal dari akar kata zakā, yang berarti tumbuh, berkembang, dan suci.
Maka, zakat bukanlah pengurangan harta, tetapi penyuburan. Harta yang dizakati tidak berkurang, melainkan tumbuh dengan berkah, sebagaimana ditegaskan dalam ayat berikut:
وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُضْعِفُونَ
“Dan apa yang kamu berikan sebagai zakat dengan maksud mencari keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).”
(QS Ar-Rūm [30]: 39)
Zakat dalam makna Qur’ani adalah investasi spiritual dan sosial. Ia menumbuhkan kesejahteraan, membersihkan hati, serta mencegah penumpukan kekayaan di segelintir orang.
Zakat sebagai Sistem Sosial, Bukan Ibadah Personal
Dalam kerangka Qur’ani, zakat berfungsi sebagai instrumen pemerataan ekonomi.
Ia adalah sistem sosial yang melembaga — bukan sekadar ibadah individual.
Hal ini ditegaskan dalam perintah Allah kepada Nabi untuk mengambil zakat sebagai kebijakan publik:
خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةًۭ تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا
“Ambillah dari harta mereka shadaqah untuk membersihkan dan memurnikan mereka dengan shadaqah itu.”
(QS At-Taubah [9]: 103)
Ayat ini menunjukkan dua fungsi utama zakat:
- Tathhīr — menyucikan harta dari keserakahan dan ketidakadilan.
- Tazkiyah — menumbuhkan kehidupan sosial yang sehat dan seimbang.
Dengan kata lain, zakat adalah kebijakan sosial Qur’ani yang mengikat, bukan donasi sukarela.
Zakat dan Pembangunan Masyarakat Qur’ani
Dalam banyak ayat, Al-Qur’an menautkan zakat dengan shalat: “Aqīmuṣ-ṣalāta wa ātū az-zakāh.”
Hubungan keduanya bukan kebetulan.
Shalat menghubungkan manusia dengan Allah; zakat menghubungkan manusia dengan sesama.
Keduanya menjadi pilar utama masyarakat beriman — spiritual dan sosial berjalan seimbang.
ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّـٰهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ أَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ
“(Ialah) orang-orang yang apabila Kami beri kekuasaan di muka bumi, mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat.”(QS Al-Ḥajj [22]: 41)
Zakat adalah tanda masyarakat Qur’ani yang berdaulat dan adil.
Ketika zakat ditegakkan, keseimbangan antara produksi, distribusi, dan konsumsi berjalan alami tanpa eksploitasi.
Sistem zakat Qur’ani menghapus jarak antara yang kaya dan miskin, tanpa perlu kapitalisme atau komunisme.
Lebih dari 2,5 Persen: Zakat Sebagai Gerak Produktif
Al-Qur’an tidak menetapkan angka 2,5 persen.
Konsep persentase itu lahir dari fiqih klasik berdasarkan konteks agraria dan perdagangan zaman dahulu.
Namun dalam perspektif Qur’ani, zakat adalah gerak produktif berkelanjutan — sebanding dengan hasil yang didapat, sebagaimana ditegaskan dalam ayat berikut:
وَءَاتُوا۟ حَقَّهُۥ يَوْمَ حَصَادِهِۦ
“Tunaikanlah haknya pada hari panennya.”(QS Al-An‘ām [6]: 141)
Artinya, setiap kali harta atau hasil diperoleh, hak masyarakat di dalamnya harus segera disalurkan.
Zakat bukan menunggu haul atau nisab tertentu, tetapi menyertai setiap siklus rezeki.
Inilah yang menjadikan zakat sebagai motor penggerak ekonomi Qur’ani — dinamis, adil, dan berkelanjutan.
Zakat: Membersihkan Sistem, Menyucikan Jiwa
Tujuan akhir zakat bukan sekadar kesejahteraan ekonomi, melainkan penyucian sistem kehidupan.
Harta yang dizakati menjadi bersih; pemiliknya menjadi lapang; masyarakatnya menjadi kokoh.
Sebaliknya, ketika zakat diabaikan, sistem ekonomi menjadi timpang, dan spiritualitas melemah.
وَمَآ أَنفَقْتُم مِّن شَىْءٍۢ فَهُوَ يُخْلِفُهُۥ وَهُوَ خَيْرُ ٱلرَّٰزِقِينَ
“Apa pun yang kamu nafkahkan, niscaya Dia akan menggantinya; dan Dia-lah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS Saba’ [34]: 39)
Zakat dalam tafsir Qur’ani adalah energi kehidupan — bukan sekadar angka, tapi cara Allah menumbuhkan rahmat dalam masyarakat yang saling menanggung.
Menghidupkan Ekonomi Tauhid
Zakat bukan beban, melainkan tanda cinta dan kepatuhan.
Ia menghidupkan keadilan dan menghapus kesenjangan.
Ketika umat memahami zakat bukan sebagai kewajiban tahunan, tetapi sebagai sistem pertumbuhan berkelanjutan, maka wajah ekonomi umat akan berubah: dari konsumtif menjadi produktif, dari serakah menjadi penuh berkah.
Zakat adalah ajaran tauhid dalam wujud ekonomi —
membersihkan jiwa, menumbuhkan harta, dan menegakkan keadilan.
“Ambillah dari harta mereka shadaqah untuk membersihkan dan memurnikan mereka.” (QS At-Taubah [9]: 103) (syahida)
*Syahida adalah kajian Qur’an dengan menggunakan metode tafsirul Quran bil ayatil Quran artinya menguraikan al quran dengan merujuk ayat ayat al quran, dalam upaya sosialisasi dan implementasi kandungan al Quran.



























