Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Jilbab, Khimar, dan Yudnīna: Meninjau Ulang Tafsir tentang Aurat dalam Al-Qur’an

11
×

Jilbab, Khimar, dan Yudnīna: Meninjau Ulang Tafsir tentang Aurat dalam Al-Qur’an

Share this article

Penulis: syahida| Editor: asyary|

Perempuan mengenakan kerudung sederhana di tengah ladang hijau, memandang ke cakrawala. Simbol kesederhanaan dan kebebasan spiritual. (lustrasi;doc.ppm)

 

ppmindonesia,com,Jakarta – Perdebatan tentang jilbab dan aurat perempuan kerap menjadi isu sensitif dalam masyarakat Muslim. Dalam banyak tafsir klasik, jilbab dan khimar sering dipahami sebagai kewajiban menutup seluruh tubuh perempuan kecuali wajah dan telapak tangan. Namun, seiring berkembangnya studi Qur’an kontekstual, muncul pertanyaan mendasar:
Apakah Al-Qur’an benar-benar menetapkan bentuk pakaian tertentu, ataukah ia berbicara tentang nilai kesopanan dan perlindungan sosial?

Kajian Qur’an bil Qur’an oleh Syahida ini berupaya menafsirkan ulang ayat-ayat tentang jilbab, khimar, dan yudnīna dengan membaca antar-ayat (tafsir ayat dengan ayat), agar maknanya kembali pada pesan etik dan sosial, bukan sekadar simbol tekstual.

Jilbab dalam Konteks Sosial, Bukan Sekadar Busana

Istilah jilbab muncul dalam QS Al-Ahzab [33]: 59, bukan dalam konteks ibadah ritual, melainkan perlindungan sosial perempuan dari gangguan masyarakat jahiliah.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal (sebagai perempuan terhormat) dan karena itu tidak diganggu.” (QS Al-Ahzab [33]: 59)

Kata يُدْنِينَ (yudnīna) berarti mengulurkan atau mendekatkan sesuatu dari atas ke bawah.
Menariknya, ayat ini tidak menyebut bentuk atau batas tubuh yang harus ditutupi, tetapi menekankan tujuan sosial: agar dikenal dan tidak diganggu.
Artinya, jilbab berfungsi sebagai simbol identitas moral dan perlindungan publik, bukan semata penutup fisik.

Khimar: Dari Penutup Kepala ke Simbol Kesopanan

Istilah kedua yang sering dijadikan dasar hukum adalah khimār, yang muncul dalam QS An-Nūr [24]: 31.

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dada mereka.” (QS An-Nūr [24]: 31)

Kata khimār berasal dari akar kata خَمَرَ (khamara) yang berarti menutupi (dari kata yang sama dengan khamr, minuman yang menutupi akal).
Sebelum Islam, perempuan Arab telah mengenakan khimar, tetapi menggantungkan kainnya di belakang kepala sehingga dada mereka terbuka. Maka, ayat ini datang bukan untuk menciptakan pakaian baru, melainkan mengoreksi gaya berpakaian yang tidak sopan.

Dengan demikian, perintah “menutupkan khimar ke dada” menegaskan etika berpakaian yang menjaga kehormatan, bukan sekadar peraturan mode.

Yudnīna dan Fungsi Sosial Pakaian

Kata yudnīna dalam QS Al-Ahzab [33]:59 menjadi kunci untuk memahami tujuan pakaian dalam Qur’an.
Kata ini juga muncul dalam QS Al-Hadid [57]: 16 dalam konteks yang berbeda, menunjukkan makna “mendekatkan diri” secara spiritual.

Artinya, penguluran jilbab (yudnīna ‘alayhinna) tidak hanya tindakan fisik, tetapi juga memiliki dimensi moral — mendekatkan diri pada kesopanan dan nilai sosial.
Dengan cara ini, Qur’an mengajarkan etika busana sebagai bentuk kesadaran spiritual, bukan sekadar aturan visual.

Aurat dalam Pandangan Qur’an

Menariknya, Al-Qur’an tidak pernah menggunakan kata “aurat” dalam konteks hukum berpakaian perempuan.
Kata ‘aurah dalam Qur’an justru berarti kekurangan, kelemahan, atau sisi rentan, seperti dalam ayat berikut:

إِنَّ بُيُوتَنَا عَوْرَةٌ
“Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (rentan).” (QS Al-Ahzab [33]: 13)

Artinya, konsep aurat dalam Qur’an lebih dekat dengan makna moral dan sosial: bagian diri yang perlu dijaga dari pelecehan dan eksploitasi, bukan semata bagian tubuh biologis.

Dengan demikian, konsep aurat dalam Al-Qur’an lebih etis daripada anatomis, lebih berorientasi pada penegakan martabat manusia ketimbang pada batasan fisik semata.

Busana Takwa: Puncak Makna Berpakaian

Akhirnya, Al-Qur’an memusatkan perhatian bukan pada bentuk pakaian, melainkan tujuannya: takwa dan kesopanan batin.

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ
“Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat dan perhiasan, tetapi pakaian takwa itulah yang paling baik.” (QS Al-A‘rāf [7]: 26)

Inilah puncak ajaran Qur’an tentang pakaian: pakaian fisik hanyalah simbol; pakaian takwa adalah esensinya.
Berpakaian sopan tanpa kesadaran moral hanyalah formalitas; tetapi menutup diri dengan takwa berarti berpakaian dengan cahaya Ilahi.

Kembali pada Nilai, Bukan Simbol

Kajian Qur’an bil Qur’an menunjukkan bahwa perintah tentang jilbab dan khimar bukanlah regulasi busana yang kaku, melainkan pedoman moral untuk menjaga kehormatan, keamanan, dan keadilan sosial.
Pakaian dalam Al-Qur’an adalah bahasa nilai, bukan instruksi mode.

Perempuan Muslim bebas mengekspresikan nilai-nilai Qur’ani itu dalam bentuk budaya dan konteks masing-masing, selama berpijak pada prinsip kesopanan dan martabat kemanusiaan.

 

“Pakaian dalam Al-Qur’an adalah bahasa nilai, bukan instruksi mode.” (syahida)

*Syahida adalah kajian Qur’an dengan menggunakan metode tafsirul Quran bil ayatil Quran artinya menguraikan al quran dengan merujuk ayat ayat al quran, dalam upaya sosialisasi dan implementasi kandungan al Quran.
Example 120x600