Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Tazkiyah dan Tath-hir: Makna Spiritualitas di Balik Sistem Ekonomi Qur’an

7
×

Tazkiyah dan Tath-hir: Makna Spiritualitas di Balik Sistem Ekonomi Qur’an

Share this article

Penulis: syahida| Editor: asyary|

Seorang petani membagikan hasil panennya kepada tetangga di pedesaan (ilustrasi)

ppmindonesia.com.Jakarta – Ketika dunia modern menakar keberhasilan ekonomi dari angka pertumbuhan dan akumulasi kapital, Al-Qur’an justru menempatkan keberkahan, kesucian, dan keadilan sebagai indikator utama. Dalam sistem nilai Qur’ani, ekonomi bukan sekadar aktivitas produksi dan konsumsi, melainkan proses penyucian (tazkiyah) dan pembersihan (tath-hir)—dua istilah spiritual yang menjadi dasar seluruh konsep sosial dan finansial Islam.

Di sinilah letak keunikan pandangan Qur’an: bahwa kekayaan, harta, dan transaksi bukan untuk menimbun, tetapi untuk membersihkan jiwa dan menumbuhkan kehidupan bersama.

Tazkiyah: Menumbuhkan dengan Membersihkan

Kata tazkiyah berasal dari akar kata zakā, yang berarti “bersih” sekaligus “tumbuh”. Al-Qur’an menggunakan istilah ini bukan hanya untuk menggambarkan zakat sebagai kewajiban sosial, tetapi juga proses spiritual manusia dalam mendekat kepada Allah.

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu.”(QS Asy-Syams [91]: 9)

Makna ini menegaskan bahwa penyucian (tazkiyah) adalah fondasi keberhasilan hidup. Ia tidak berhenti pada ritual, tetapi berlanjut ke dalam etika ekonomi—bagaimana seseorang memperlakukan hartanya, bagaimana ia memberi, dan sejauh mana ia melihat harta bukan sebagai tujuan, melainkan sarana untuk menumbuhkan keberkahan.

Tath-hir: Pembersihan Harta dan Jiwa

Konsep tath-hir muncul ketika Al-Qur’an menjelaskan makna terdalam dari zakat. Bukan sekadar angka 2,5 persen, zakat dimaknai sebagai proses pembersihan spiritual—mengeluarkan kotoran keserakahan dari harta dan hati.

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”(QS At-Taubah [9]: 103)

Ayat ini menegaskan bahwa zakat bukan sekadar transfer kekayaan, tetapi transfer nilai kemanusiaan. Pemberi zakat dibersihkan dari cinta dunia yang berlebihan, sementara penerima zakat dimuliakan karena haknya dikembalikan. Dengan demikian, sistem ekonomi Qur’an adalah sistem tath-hir, yang menyucikan relasi antara manusia.

Ekonomi Qur’ani: Keadilan Sebagai Kesucian

Dalam logika kapitalisme, kesuksesan diukur dari seberapa besar akumulasi. Dalam logika Qur’an, keberhasilan justru diukur dari seberapa banyak yang dibersihkan dan dibagi. Keadilan ekonomi tidak lahir dari pajak, tapi dari kesadaran spiritual bahwa harta adalah amanah Allah.

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”(QS Adz-Dzariyat [51]: 19)

Ayat ini menunjukkan bahwa kepemilikan dalam Qur’an bukanlah absolut, tetapi mengandung hak sosial. Maka, tazkiyah dan tath-hir menjadi mekanisme etis agar kekayaan tidak terkonsentrasi di segelintir orang.

Dari Ritual ke Etika Ekonomi

Zakat, shadaqah, dan infak bukan sekadar kewajiban ritual, melainkan sistem etika sosial yang berakar pada spiritualitas. Ia mengajarkan bahwa kesejahteraan sejati lahir ketika manusia memandang harta bukan untuk dirinya, tetapi untuk kehidupan bersama. Inilah mengapa Al-Qur’an menegur keras mereka yang menimbun dan menahan:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka azab yang pedih.”
(QS At-Taubah [9]: 34)

Ayat ini bukan sekadar kecaman terhadap penimbunan materi, tetapi kritik terhadap sistem ekonomi yang kehilangan jiwa penyucian.

Mengembalikan Ruh Ekonomi Tauhid

Maka, inti sistem ekonomi Qur’an bukanlah sekadar “pembagian” atau “redistribusi”, melainkan penyucian dan penumbuhan—dua makna yang berpadu dalam tazkiyah dan tath-hir. Spirit ekonomi Qur’ani berawal dari hati yang bersih, berlanjut pada tindakan sosial yang adil, dan berujung pada keberkahan kolektif.

Ekonomi dalam pandangan Qur’an adalah ibadah sosial: jalan menuju keseimbangan antara kepemilikan dan keikhlasan, antara pertumbuhan dan kesucian.
Dan di sanalah letak keagungan Islam sebagai agama yang tidak hanya mengajarkan doa, tapi juga menata dunia dengan nilai-nilai tauhid.

*Syahida adalah kajian Qur’an dengan menggunakan metode tafsirul Quran bil ayatil Quran artinya menguraikan al quran dengan merujuk ayat ayat al quran, dalam upaya sosialisasi dan implementasi kandungan al Quran.
Example 120x600