“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.”
(QS. An-Nisa [4]: 58)
ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah semangat membangun ekonomi umat, gerakan Koperasi Merah Putih muncul sebagai simbol harapan baru. Ia tidak hanya berbicara tentang modal dan laba, tetapi tentang keadilan sosial, kemandirian, dan pengabdian.
Namun di balik idealisme luhur itu, terselip persoalan yang tak kalah mendasar: bagaimana memastikan keadilan juga dirasakan oleh mereka yang bekerja di dalamnya — para pengurus dan penggerak lapangan yang tanpa pamrih memberi waktu, tenaga, dan pikiran untuk kemajuan bersama.
Antara Amanah dan Ketimpangan
Dalam banyak kasus, para pengurus koperasi sering dipandang sebagai “pelayan umat”. Mereka bekerja bukan untuk gaji, tetapi karena panggilan moral. Namun, idealisme ini kerap disalahpahami. Akibatnya, tak sedikit pengurus yang menanggung beban berat tanpa mendapat imbalan yang layak.
Sementara koperasi bergerak mengelola ratusan anggota, menata usaha, dan mengembangkan jejaring ekonomi, sebagian besar pengurus tetap hidup sederhana, bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Di sinilah muncul ironi: gerakan yang mengusung keadilan sosial justru mengabaikan keadilan internal bagi para pegiatnya sendiri.
Keadilan, dalam pandangan Islam, bukan sekadar prinsip moral. Ia adalah fondasi kehidupan bermasyarakat. Adil berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya. Maka, keadilan dalam koperasi berarti menempatkan kerja dan pengorbanan sesuai nilainya — memberi penghargaan yang sepadan bagi mereka yang berjuang menjaga amanah bersama.
Etos Ikhlas dan Dilema Struktural
Memang benar, bekerja di koperasi sering didorong oleh semangat ikhlas lillahi ta’ala. Tapi ikhlas bukan berarti abai terhadap sistem yang adil. Rasulullah SAW sendiri menegaskan pentingnya keseimbangan antara amanah dan hak. Dalam hadis riwayat Bukhari, beliau bersabda:
“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.”
Pesan ini menegaskan bahwa penghargaan atas kerja manusia adalah bagian dari keimanan. Mengabaikan hal itu justru mencederai semangat ukhuwah yang menjadi dasar gerakan ekonomi umat.
Dalam konteks Koperasi Merah Putih, problemnya bukan pada kurangnya niat baik, tetapi pada kelembagaan yang belum kokoh. Banyak koperasi masih bertumpu pada solidaritas emosional, bukan sistem manajemen yang profesional. Padahal, tanpa struktur yang sehat — dengan pembagian peran, honorarium, dan mekanisme akuntabilitas yang jelas — semangat pengabdian akan mudah layu, dan kader-kader terbaik perlahan mundur.
Membangun Keadilan dari Dalam
Sudah saatnya koperasi, khususnya yang membawa nama “merah putih” dan semangat kebangsaan, menata ulang sistem keadilan internalnya. Gerakan koperasi tidak boleh hanya menyejahterakan anggota, tetapi juga memastikan mereka yang mengelola roda organisasi tidak terpinggirkan secara ekonomi.
Keadilan internal bukan soal material semata. Ia juga menyangkut penghargaan moral, transparansi keputusan, dan partisipasi yang setara. Ketika koperasi tumbuh dalam suasana yang adil, amanah pun terjaga, dan keberkahan menjadi nyata.
Menjaga Ruh Perjuangan
Gerakan koperasi lahir dari semangat gotong royong — dari keyakinan bahwa kesejahteraan bukan hasil kompetisi, tapi kolaborasi. Karena itu, setiap langkah dalam koperasi harus mengandung dua ruh: amanah dan keadilan. Amanah menjaga keikhlasan, sementara keadilan menjaga keberlanjutan.
Jika keduanya berjalan seiring, maka koperasi bukan hanya tempat bertransaksi, melainkan ruang peradaban — tempat di mana ekonomi dan etika bersatu. Tempat di mana bekerja untuk umat bukan lagi berarti berkorban tanpa batas, melainkan berjuang dalam sistem yang adil, bermartabat, dan membawa rahmat bagi semua.



























