Scroll untuk baca artikel
Berita

Energi Negatif dan Kerusakan Alam: Interpretasi Syahida terhadap Bencana 2025

18
×

Energi Negatif dan Kerusakan Alam: Interpretasi Syahida terhadap Bencana 2025

Share this article

Kajian Syahida – Qur’an bil Qur’an| Editor; asyary

ppmindonesia.com.JakartaBanjir besar di Aceh, Sumatra Barat, dan sejumlah wilayah lain di Indonesia sepanjang 2025 kembali membuka luka lama soal eksploitasi alam dan krisis kesadaran manusia. Berbagai ahli menyebut deforestasi, tambang, dan ekspansi sawit sebagai penyebab utama. Namun dalam perspektif Qur’ani—terutama melalui pendekatan Qur’an bil Qur’an dalam kajian Syahida—bencana bukan sekadar fenomena fisik. Ia adalah akumulasi energi negatif yang lahir dari perilaku manusia yang “keluar dari keseimbangan” (fasād), sebagaimana dijelaskan berulang dalam ayat-ayat Allah.

Artikel ini membedah kembali bencana 2025 bukan hanya sebagai kejadian alam, tetapi sebagai refleksi moral, peringatan ekologis, dan hasil dari tindakan manusia itu sendiri, sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an.

Kerusakan Alam sebagai Akumulasi Energi Negatif

Dalam perspektif Syahida, alam memiliki kesadaran tersendiri—ia tunduk pada hukum Allah, bertasbih, dan menjaga keseimbangannya. Ketika manusia melampaui batas dan mengeksploitasi bumi tanpa etika, energi negatif tercipta dan memicu ketidakseimbangan ekologis, yang kemudian muncul dalam bentuk bencana.

Qur’an telah menjelaskannya dengan sangat gamblang:

Kerusakan di darat dan laut akibat perbuatan manusia

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia.” (QS ar-Rūm 30:41)

Dalam konteks 2025, “kerusakan di darat” mencakup hilangnya hutan Sumatra, penggundulan kawasan pegunungan untuk tambang, serta lumpur bercampur logam berat yang menghantam sungai. “Kerusakan di laut” terlihat dari sedimentasi besar-besaran dan matinya biota pesisir setelah banjir bandang.

Ayat ini mengafirmasi bahwa bencana bukan sekadar fenomena meteorologis, melainkan konsekuensi etis.

Energi Negatif dari Perusakan: Ketika Alam Menolak

Syahida membaca ayat-ayat Qur’an bahwa alam bukan benda mati, tetapi makhluk yang taat, bertasbih dan tunduk pada sunatullah. Ketika manusia melawan hukum-hukum itu, alam “protes”.

Alam bertasbih dan memiliki keteraturan

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ ۚ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ
“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada-Nya. Tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.” (QS al-Isrā’ 17:44)

Deforestasi, pembakaran hutan, penambangan rakus, dan alih fungsi lahan sawit telah menganggu pola tasbih ini. Ketika tasbih terganggu, ketidakseimbangan energi muncul—dan bencana menjadi salah satu bentuk “reaksi alam” menjaga dirinya.

Bencana sebagai Pengingat, Bukan Selalu Hukuman

Kajian Syahida menekankan bahwa bencana tidak selalu berarti hukuman. Ia bisa menjadi: peringatan (tadhkīr) konsekuensi alamiah dari pelanggaran hukum Allah, uji coba kesadaran manusia untuk kembali kepada keseimbangan

Qur’an menjelaskan bahwa manusia sering baru tersadar ketika musibah datang:

Musibah sebagai akibat dari tindakan manusia, namun Allah masih memaafkan sebagian besar

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Musibah apa pun yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan kalian sendiri; dan Allah memaafkan sebagian besar (kesalahan kalian).” (QS asy-Syūrā 42:30)

Ayat ini meluruskan persepsi bahwa banjir Sumatra semata-mata “ujian”. Dalam banyak kasus, ia adalah akibat kausal dari perilaku manusia—namun Allah tetap menahan banyak dampak lain yang seharusnya lebih besar.

Jika seluruh fasad (kerusakan) dibuka tanpa ampun, Sumatra mungkin sudah tenggelam sejak lama.

Deforestasi, Tambang, Sawit: Sumber Energi Negatif Paling Besar

1. Deforestasi masif

Sumatra kehilangan jutaan hektare hutan dalam tiga dekade terakhir. Hutan yang ditebang bukan hanya hilang sebagai penyangga air, tetapi juga memutus “tasbih ekologis”, menciptakan kekosongan energi dan ketidakseimbangan.

2. Tambang di hulu sungai

Logam berat, tanah tergerus, dan sedimentasi ekstrem mempercepat banjir hingga 10× lipat.

3. Sawit monokultur

Perkebunan sawit menghancurkan struktur tanah, mengeringkan gambut, dan menghilangkan kapasitas bumi menyerap air.

Kajian Syahida membaca fenomena ini melalui ayat:

4. Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS ar-Ra‘d 13:11)

Ayat ini bukan tentang nasib ekonomi, tetapi tentang kesadaran kolektif, termasuk etika ekologis.

Perubahan alam terjadi saat manusia berubah; kerusakan datang ketika keserakahan meningkat.

Tanda-Tanda Zaman: Ketika Bumi “Menyampaikan Beritanya”

Qur’an memberi gambaran bahwa bumi suatu hari akan “berbicara” tentang apa yang manusia lakukan di atasnya. Dalam konteks ekologis, bumi telah mulai menyampaikan “laporannya” melalui bencana.

Bumi mengungkapkan peristiwa yang terjadi di atasnya

يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا ۝ بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَىٰ لَهَا
“Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya, karena Tuhanmu telah memerintahkannya.” (QS al-Zalzalah 99:4–5)

Banjir, longsor, kebakaran hutan—semua adalah bentuk “bahasa bumi” memberi tahu manusia tentang kerusakan yang mereka lakukan.

Saatnya Menghentikan Energi Negatif

Bencana 2025 bukan hanya tentang cuaca ekstrem. Ia adalah gabungan dari: pelanggaran ekologis, ketamakan manusia, lemahnya pengawasan, deforestasi tak terkendali. pencemaran air dan tanah, rusaknya tasbih alam dan energi negatif yang dihasilkan dari semua itu.

Qur’an menawarkan jalan keluar yang sangat tegas: kembalilah ke keseimbangan.

وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
“Tegakkanlah keseimbangan dengan adil dan jangan merusak keseimbangan itu.” (QS ar-Rahmān 55:9)

Selama manusia terus merusak mīzān (keseimbangan), bencana akan terus berulang.

Alam tidak membenci manusia. Ia hanya menegakkan hukum Tuhan.
Dan hukum itu tidak pernah berubah.

Example 120x600