ppmindonesia.com.Bekasi – Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) kembali menggelar Pelatihan Kader Dakwah Bil Hal pada 5 Juli 2025 di Islamic Center Bekasi. Salah satu sesi penting menghadirkan Faqih Suhada, seorang praktisi pemberdayaan masyarakat dengan pengalaman panjang dalam pengembangan koperasi, pertanian, dan peternakan terintegrasi berbasis komunitas.
Dengan mengusung tema “Membangun Ekosistem Peternakan Berbasis Komunitas yang Adil dan Berkelanjutan”, Faqih Suhada menyampaikan paparan yang menggugah, penuh keprihatinan namun juga kaya tawaran solusi aplikatif yang bersumber dari pengalaman lapangan. Ia mengangkat realitas getir dunia peternakan dan koperasi di Indonesia yang kerap terjebak dalam pola pikir instan, tata kelola yang tidak amanah, serta kebijakan yang tidak berpihak pada petani dan peternak kecil.
“Di tengah gempuran pangan impor, lahan yang menyusut, dan harga pupuk yang melambung, umat seperti kehilangan arah. Petani merugi, peternak tak pernah benar-benar untung. Koperasi yang mestinya menjadi penopang justru tumbang oleh manajemen yang tidak amanah,” tegasnya.
Faqih mengisahkan pengalamannya menangani kasus-kasus koperasi simpan pinjam yang gagal karena lemahnya integritas. Ia menyebut koperasi yang awalnya tumbuh dari semangat kebersamaan dan amanah, kerap runtuh ketika dana mulai melimpah namun disalurkan secara serampangan, tanpa prinsip kehati-hatian dan tanggung jawab.
“Saya tangani koperasi simpan pinjam yang asetnya sudah ratusan miliar. Tapi hancur karena tidak amanah. Bukan karena tidak ada modal, tapi karena uangnya tidak disalurkan dengan benar. Mayoritas anggota yang datang justru karena sudah bermasalah di perbankan,” jelasnya.
Lebih jauh, Faqih menyampaikan bahwa hampir tidak ada sektor peternakan yang benar-benar memberikan keuntungan besar bagi pelaku skala kecil. Baik ayam, lele, sapi, maupun domba, semuanya berisiko tinggi dan margin keuntungannya sangat tipis. Menurutnya, satu-satunya model peternakan yang relatif bertahan adalah sapi perah dan itu pun hanya dalam jumlah kecil.
Namun, di balik pesimisme itu, Faqih menghadirkan secercah harapan: integrasi antara peternakan dan pertanian sebagaimana dilakukan nenek moyang kita dulu.
“Petani-petani kita dulu tidak pernah memisahkan ternak dari sawah. Kotoran ternak dijadikan pupuk. Itu sumber daya luar biasa. Pupuk organik dari kotoran ternak itu kualitasnya bisa 60 kali lipat dari urea. Tapi pemerintah tidak mengakuinya karena proyek pupuk subsidi nilainya sampai 600 triliun per tahun,” ungkapnya kritis.
Konsep integrasi ini, lanjut Faqih, tidak hanya meningkatkan efisiensi ekonomi dan ekologis, tetapi juga membangun kembali hubungan manusia dengan tanahnya. Pendekatan ini memperkuat kemandirian komunitas, menumbuhkan kejujuran dalam pengelolaan usaha bersama, serta memperbesar ruang dakwah bil hal yang nyata dan menyentuh kehidupan.
Ia juga menekankan pentingnya membangun ekosistem usaha yang berbasis pada nilai spiritual dan kejujuran. Bahkan ia menyinggung filosofi logo PPM yang mengandung lafaz “Allah” sebagai pengingat bahwa perjuangan harus berlandaskan amanah.
“Kenapa logo PPM seperti itu? Supaya kita ingat untuk terus amanah. Tapi kadang, di negeri ini, simbol tidak lagi menakutkan. Padahal, kalau amanah dijaga, insyaAllah tidak akan hancur,” pungkasnya.
Melalui paparan yang lugas, berani, dan inspiratif, Faqih Suhada tidak hanya menyuarakan kritik, tetapi juga menghadirkan alternatif nyata bagi kader PPM dan masyarakat luas. Sebuah seruan untuk kembali kepada nilai-nilai dasar: amanah, kejujuran, kerja bersama, dan keberpihakan kepada yang kecil, demi membangun ekosistem ekonomi berbasis komunitas yang berkeadilan dan berkelanjutan.