Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Hakikat Keimanan dalam Menjadikan Al-Qur’an Sebagai Hakim

367
×

Hakikat Keimanan dalam Menjadikan Al-Qur’an Sebagai Hakim

Share this article
Falā Warabbika Lā Yu’minūna, QS. 4;65 (ppm.doc)

ppmindonesia.com, Jakarta-Al-Qur’an 4:65,  Falā Warabbika Lā Yu’minūna” yang menegaskan dengan tegas tentang hakikat seorang mukmin sejati. Ayat ini tidak berbasa-basi, bahkan menggunakan sumpah Allah untuk menekankan bahwa seseorang belum dianggap beriman hingga dia menjadikan Rasulullah sebagai hakim atas segala permasalahan hidupnya, tanpa merasa keberatan terhadap putusannya, dan menerima sepenuh hati apa yang ditetapkan.

Makna “menghakimkan segala sesuatu kepada Rasulullah” adalah merujuk pada hukum yang bersumber dari Al-Qur’an. Rasulullah SAW menetapkan segala keputusan berdasarkan Al-Qur’an, yang dalam QS 36:2-4 ditegaskan sebagai dasar kerasulannya. Oleh karena itu, menegakkan Al-Qur’an sebagai hakim adalah bagian tak terpisahkan dari keimanan. Namun, di kalangan umat Islam, terdapat dua sudut pandang berbeda tentang penerapan Al-Qur’an sebagai hukum:

Dua Kelompok Pemaknaan terhadap Al-Qur’an sebagai Hakim

  1. Kelompok Pertama
    Kelompok ini memandang Al-Qur’an sebagai sumber hukum. Mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an memberikan prinsip-prinsip yang menjadi landasan dalam merumuskan kebijakan dan tata kelola kehidupan di berbagai aspek. Dengan demikian, hukum dan peraturan dapat digali dari sumber-sumber Al-Qur’an untuk disesuaikan dengan dinamika zaman. Mereka meyakini bahwa untuk memenuhi tuntutan modernitas, hukum harus berkembang sesuai perubahan sosial.

Misalnya, penerapan shodaqoh sebagai “faridhatan min Allah” membutuhkan aturan dan tata kelola agar dapat berjalan tertib dan mencapai tujuan yang diharapkan. Begitu pula, dalam menjaga solidaritas sosial sebagaimana diperintahkan dalam QS 4:77 (“yakhāfūnahum ka khīfatikum anfusakum“), perlu ada regulasi dan prosedur hukum yang jelas agar setiap langkah dapat dikontrol secara adil dan bijak. Kelompok ini menekankan bahwa karena masyarakat dan kebutuhannya selalu berubah, penerapan langsung Al-Qur’an sebagai hukum positif tidaklah realistis tanpa mempertimbangkan perkembangan zaman.

  1. Kelompok Kedua
    Kelompok kedua meyakini bahwa Al-Qur’an bukan hanya sumber hukum, tetapi hukum itu sendiri. Mereka berdalil dengan QS 44:3-4, yang menyatakan bahwa di dalam Al-Qur’an telah diselesaikan setiap urusan dengan tepat (“fīhā yufraqu kulla amrin hakīm”) dan dengan sempurna. Mereka juga menekankan bahwa tidak ada hukum yang lebih tinggi daripada hukum Allah, sebagaimana ditegaskan dalam QS 95:8 (“alaysa Allahu bi ahkamil hākimīn”).

Bagi kelompok ini, siapa pun yang tidak menjadikan hukum Allah sebagai rujukan utama dianggap kufur, sesuai dengan ancaman yang tercantum dalam QS 5:44, 5:45, dan 5:47. Mereka juga mengingatkan melalui QS 4:60, bahwa setiap mukmin sejati wajib mengingkari hukum thaghut dan berhukum hanya pada kitab Allah.

Kontroversi: Menegakkan Al-Qur’an sebagai Hukum Positif

Perbedaan pandangan antara kedua kelompok ini sering kali menimbulkan polemik dalam masyarakat. Kelompok pertama menolak gagasan untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi atau hukum negara secara langsung. Menurut mereka, penerapan seperti itu hanya mungkin di bawah sistem negara agama dengan konstitusi DINILLAH, dan kondisi ideal tersebut sulit dicapai.

Mereka juga berpendapat bahwa karena masyarakat terus berkembang, kebijakan dan aturan harus disesuaikan dengan realitas sosial. Contoh konkret dapat dilihat dalam pengelolaan shodaqoh, yang memerlukan sistem dan aturan rinci agar terlaksana dengan efektif. Begitu juga dalam solidaritas sosial dan perlindungan masyarakat, harus ada regulasi hukum untuk memastikan prosedur berjalan tertib dan dapat diimplementasikan dalam konteks modern.

Sebaliknya, kelompok kedua memandang bahwa hukum Allah adalah mutlak dan tidak boleh disesuaikan dengan keinginan manusia. Bagi mereka, hukum Allah adalah final, dan menolak berhukum dengannya berarti kufur. Mereka meyakini bahwa semua kebutuhan manusia, baik dalam skala individu maupun kolektif, telah diatur dalam Al-Qur’an dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan dengan benar jika umat beriman mematuhi petunjuk Allah sepenuhnya.

Kesimpulan: Menjadi Mukmin Sejati dengan Menjadikan Al-Qur’an sebagai Hakim

Al-Qur’an menuntut umat manusia untuk menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim atas setiap aspek kehidupan dan menerima sepenuh hati keputusan yang diambil berdasarkan petunjuk Allah (QS 4:65). Hal ini tidak hanya menunjukkan ketaatan, tetapi juga menegaskan bahwa iman tidak hanya bersifat lisan, melainkan juga tercermin dalam sikap dan perbuatan.

Perbedaan pandangan tentang penegakan hukum Allah adalah tantangan bagi umat Islam. Namun, setiap muslim perlu menyadari bahwa keimanan sejati terletak pada penerimaan penuh terhadap hukum Allah dan penolakan terhadap hukum thaghut. Apakah itu diwujudkan dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum atau sebagai hukum itu sendiri, ujungnya adalah ketaatan total kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kini, pilihan ada di tangan setiap individu: Apakah akan tunduk sepenuhnya pada petunjuk Allah atau tetap berada dalam keraguan? Jangan tunda mengambil keputusan, karena QS 57:16 memperingatkan agar manusia tidak menunggu hingga waktu berlalu dan hati mereka menjadi keras.

Dengan memahami bahwa kehidupan ini hanya sekali, sudah sepatutnya setiap orang memilih jalan yang membawa mereka lebih dekat kepada Allah. Pada akhirnya, mereka yang memilih untuk berhukum dengan kitab Allah dan Rasul-Nya akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat (QS 39:33-35). Bagi mereka, segala keburukan akan dihapus dan balasan yang mereka terima akan jauh lebih baik daripada amal yang mereka kerjakan.

Apakah masih ada alasan untuk menunda? Pilihan ada di tanganmu—syukur atau kufur. (husni fahro)

Example 120x600