ppmindonesia.com, Jakarta-Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa Islam adalah Dinan—sebuah sistem kehidupan yang mengatur manusia berdasarkan kebenaran dan keadilan (QS Al-Maidah: 3). Al-Qur’an telah diturunkan sebagai petunjuk yang mencakup segala kebutuhan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Bahkan Allah SWT menyebutkan dalam QS Al-Ankabut: 51-52 bahwa kitab suci ini cukup sebagai bukti dan petunjuk bagi orang-orang yang beriman.
Al-Qur’an adalah tafsir terbaik, sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Furqan: 33. Allah juga telah memperingatkan umat manusia melalui QS Al-Furqan: 31 bahwa cukuplah Allah sebagai pemberi petunjuk dan penolong (kafaa bi rabbika haadiyan wa nashiiran). Selain itu, QS An-Nisa: 165 menjelaskan bahwa setelah diutusnya para rasul, tidak ada lagi hujjah atau alasan bagi manusia untuk menyimpang atas nama agama Allah.
Namun, dalam kenyataan kehidupan religius umat Islam, ada ironi besar. Banyak orang yang melaksanakan shalat setiap hari, tetapi pengaruhnya terhadap perilaku mereka tidak mencerminkan makna sebenarnya dari shalat. Seharusnya, shalat menjadi pencegah utama dari perbuatan keji (fahsya) dan mungkar (QS Al-Ankabut: 45). Akan tetapi, dari berbagai sumber, kejahatan masih didominasi oleh mereka yang mengaku sebagai Muslim.
Mengapa Shalat Tidak Memberikan Dampak yang Semestinya?
Ada kemungkinan bahwa shalat yang dilakukan banyak orang belum mencapai makna sejatinya. Shalat yang ditegakkan hanya sebagai ritual fisik atau formalitas, tanpa disertai kesadaran dan penghayatan, tidak mampu berfungsi sebagai pelindung dari perilaku buruk.
Banyak orang yang mungkin melaksanakan shalat dengan tujuan utama mendapatkan pahala, bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau mencegah diri dari perbuatan buruk. Bahkan, ada yang menghitung setiap langkah menuju tempat shalat sebagai dasar pahala yang akan mereka peroleh. Padahal, esensi shalat adalah menjadikan seseorang lebih sadar akan keberadaan Allah dan lebih peduli terhadap nilai-nilai moral dalam kehidupan.
Shalat dalam Makna Sejatinya
Shalat yang benar bukan sekadar gerakan atau bacaan, tetapi sebuah pengabdian total kepada Allah. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an yang selalu menekankan aspek ketaatan dan ketundukan. Misalnya, QS Al-Ankabut: 45 menegaskan bahwa shalat memiliki fungsi utama mencegah dari fahsya dan munkar. Namun, jika shalat hanya dijalankan sebatas rutinitas, tanpa pemahaman mendalam terhadap maknanya, maka ia kehilangan daya transformasinya.
Refleksi terhadap Tujuan Shalat
Shalat yang dilakukan dengan orientasi mencari pahala tanpa memahami maknanya akan sulit memberikan dampak pada pembentukan karakter. Bahkan, hadits yang berbunyi “Shalluu kamaa ra-aitumuni ushallii” (“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”) sering dipahami secara terbatas hanya pada aspek teknis. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak pernah melihat Rasulullah shalat secara langsung? Apakah mereka tidak bisa memenuhi perintah tersebut?
Sebagai pengingat, inti dari hadits ini adalah agar umat meneladani esensi shalat Rasulullah, yaitu pengabdian total kepada Allah, bukan hanya teknis gerakan semata. Maka, penting bagi kita untuk tidak terjebak pada bentuk fisik shalat tanpa memahami makna spiritualnya.
Islam sebagai Dinan menuntun manusia pada kebenaran dan keadilan. Shalat adalah salah satu bentuk pengabdian yang harus membawa pengaruh nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun, agar shalat dapat menjalankan fungsi tersebut, umat Islam perlu memahami dan mengamalkan esensinya, bukan sekadar menjalankannya sebagai ritual formal.
Semoga kita semua dapat melaksanakan shalat dengan penuh kesadaran, sehingga ia menjadi pencegah yang efektif dari segala bentuk fahsya dan munkar, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. (husni fahro)