Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Menggali Keteladanan Rasulullah Melalui QS. Al-Ahqaf: 9

268
×

Menggali Keteladanan Rasulullah Melalui QS. Al-Ahqaf: 9

Share this article

ppmindonesia.com, Jakarta-Dalam QS. Al-Ahqaf: 9, Allah memerintahkan Rasulullah Muhammad untuk menyampaikan empat pernyataan penting yang sangat relevan dalam memahami keteladanan beliau sebagai rasul terakhir. Ayat ini diawali dengan perintah qul (katakanlah), yang menunjukkan bahwa setiap kalimat yang diucapkan Rasulullah adalah bagian dari misi kenabian yang tidak dapat dilepaskan dari wahyu Allah.

Empat Pernyataan Fundamental dalam QS. Al-Ahqaf: 9

1.”Qul maa kuntu bid’an minar rusul”
Artinya: “Katakanlah, aku bukanlah rasul yang pertama di antara para rasul.”
Melalui pernyataan ini, Rasulullah menegaskan bahwa beliau bukanlah seorang rasul yang membawa ajaran baru yang terputus dari ajaran para nabi sebelumnya. Ini mengingatkan kita bahwa risalah beliau adalah kelanjutan dan penyempurna dari risalah para nabi sebelumnya, semuanya bersumber dari Allah.

2.”Wamaa adrii maa yuf’alu bii walaa bikum”
Artinya: “Dan aku tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada diriku maupun pada kalian.”
Pernyataan ini menunjukkan kerendahan hati Rasulullah sebagai seorang manusia yang tidak memiliki pengetahuan tentang masa depan, kecuali apa yang diwahyukan Allah. Jika Rasulullah sendiri tidak mengetahui nasib dirinya, apalagi untuk menetapkan takdir orang lain. Hal ini memberikan pelajaran penting tentang sikap tawadhu’ dan kepasrahan kepada Allah, Sang Maha Mengetahui.

3.”In attabi’u illa maa yuhaa ilayya”
Artinya: “Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.”
Rasulullah menegaskan bahwa seluruh langkah hidupnya adalah sepenuhnya mengikuti wahyu Allah. Pernyataan ini mengajarkan bahwa berpegang teguh pada wahyu, yaitu Al-Qur’an, adalah jalan lurus (shirathal mustaqim) sebagaimana ditegaskan dalam QS. Az-Zukhruf: 43: “Maka berpegang teguhlah kepada apa yang telah diwahyukan kepadamu, sesungguhnya engkau berada di atas jalan yang lurus.”

4.”Wamaa ana illa nadzirun mubiin”
Artinya: “Dan tiadalah aku kecuali pemberi peringatan yang nyata.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa misi utama Rasulullah adalah memberikan peringatan yang jelas kepada umat manusia. Beliau tidak mengada-ada atau berbicara atas dasar keinginan pribadi, tetapi semua yang disampaikan adalah amanah dari Allah.

Kontradiksi dengan Hadis Perpecahan Umat?

Ada sebuah riwayat hadis yang sering dikaitkan dengan perpecahan umat, yaitu tentang umat Rasulullah yang akan terpecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu yang selamat, yaitu golongan ahlus sunnah wal jama’ah. Jika dihubungkan dengan pernyataan “wamaa adrii maa yuf’alu bii walaa bikum”, muncul pertanyaan logis: bagaimana mungkin Rasulullah dapat memastikan perpecahan ini jika beliau sendiri telah menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya maupun umatnya di masa depan?

Pertanyaan ini mengundang kajian mendalam. Apakah riwayat tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah, ataukah ia merupakan tambahan yang dibuat jauh setelah wafatnya beliau? Dalam QS. Al-Ahqaf: 9, jelas bahwa Rasulullah diperintahkan untuk tidak mengada-ada, dan hanya berbicara berdasarkan wahyu. Maka, setiap klaim yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an perlu ditinjau ulang keabsahannya.

Berpegang Teguh pada Wahyu

Pernyataan Rasulullah “in attabi’u illa maa yuhaa ilayya” menggarisbawahi prinsip penting: mengikuti wahyu adalah inti dari keberagamaan. Wahyu yang dimaksud tentu adalah Al-Qur’an, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-An’am: 19: “Apa yang diwahyukan kepadaku adalah Al-Qur’an.”

Melalui Al-Qur’an, Allah memberikan petunjuk yang paling kokoh (QS. Al-Isra: 9) dan menegaskan bahwa kitab ini diturunkan bukan untuk mencelakakan (QS. Thaha: 2). Oleh karena itu, berpegang teguh pada Al-Qur’an adalah jalan yang membawa manusia kepada keselamatan.

Namun, meninggalkan wahyu atau mengikuti jalan lain akan membawa pada perpecahan (tafarruq), yang dalam QS. Al-An’am: 153 disebut sebagai penyimpangan dari jalan Allah. Bahkan, QS. Al-An’am: 159 dengan tegas mengingatkan Rasulullah agar tidak menjadi bagian dari orang-orang yang terpecah-belah dalam urusan agama.

Menghindari Perangkap Setan

Setan selalu berusaha menggoda manusia agar melupakan wahyu Allah. Dalam QS. Muhammad: 25, setan disebutkan sebagai pihak yang memberikan angan-angan palsu dan memanjangkan harapan. Dalam QS. Al-Hijr: 40, setan bahkan bersumpah akan menyesatkan semua manusia kecuali orang-orang yang ikhlas.

Mereka yang mengikuti jalan setan pada akhirnya menjadikan setan sebagai pemimpin, sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-Nahl: 98-100. Namun, Allah mengingatkan dalam QS. An-Nisa: 76 bahwa tipu daya setan itu sangat lemah (inna kaid asy-syaithani kana dha’ifa). Oleh karena itu, sebagai orang beriman, kita diperintahkan untuk memerangi setiap bentuk kepemimpinan setan.

Kesimpulan

Ayat QS. Al-Ahqaf: 9 mengandung empat pernyataan yang mendalam untuk memahami keteladanan Rasulullah. Sebagai seorang nabi, beliau menyadari sepenuhnya bahwa dirinya adalah manusia yang tidak mengetahui apa yang akan terjadi tanpa wahyu Allah. Dengan demikian, beliau hanya menyampaikan apa yang diwahyukan dan bertindak sebagai pemberi peringatan yang nyata.

Bagi umat Islam, sikap Rasulullah ini adalah teladan yang harus diikuti. Berpegang teguh pada wahyu, yaitu Al-Qur’an, adalah satu-satunya cara untuk tetap berada di atas jalan yang lurus dan terhindar dari perpecahan maupun godaan setan. Sebagaimana Rasulullah hanya mengikuti wahyu, demikian pula kita harus menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam kehidupan.(husni fahro)

Example 120x600