Renungan ini terinspirasi dari ayat Al-Qur’an, Surah Yāsīn (36:22), yang berbunyi: “Mengapa aku tidak menyembah (mengabdi kepada) Yang menciptakan aku, padahal hanya kepada-Nya aku akan dikembalikan?” (QS 36:22).
ppmindonesia.com, Jakarta– Pertanyaan yang terdapat dalam ayat tersebut seolah menjadi ajakan untuk introspeksi diri. Mengapa seseorang tidak mengabdi kepada Allah, Sang Pencipta? Jawaban atas pertanyaan ini sejatinya ada pada diri masing-masing.
Renungan ini mengajak kita untuk memeriksa alasan-alasan yang mungkin membuat seseorang belum sepenuhnya mengabdi kepada Allah. Apakah itu karena ketidaktahuan, kelalaian, ataukah karena kesibukan dunia yang menyesatkan perhatian?
Sebagai manusia, tujuan utama penciptaan kita telah ditegaskan dalam Al-Qur’an:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS 51:56).
Ayat ini menjadi pengingat yang sangat mendalam. Ketika direnungkan, pernyataan ini membawa kita pada keinsafan bahwa seluruh aspek kehidupan manusia sejatinya adalah bentuk pengabdian kepada Allah. Namun, pertanyaan yang muncul adalah: Apakah kita telah benar-benar menjalankan tujuan ini secara totalitas?
Dalam konteks ibadah dan pengabdian, kita sering mengulang pernyataan dalam surah Al-Fatihah:
“Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan.” (QS 1:5).
Kalimat ini adalah deklarasi penghambaan kita kepada Allah. Namun, pertanyaan reflektif berikutnya adalah, apakah deklarasi ini benar-benar telah tercermin dalam setiap gerakan hidup kita? Apakah setiap langkah, keputusan, dan niat kita sudah dipersembahkan sepenuhnya kepada Allah sesuai dengan kaidah yang telah digariskan dalam Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk?
Sering kali, kita merasa bahwa kita telah siap untuk mengabdi secara total kepada Allah, tetapi kesiapan tersebut perlu diuji. Apakah benar kesiapan itu telah terimplementasi dalam tindakan nyata? Apakah tingkat kesadaran dan kecerdasan spiritual kita sudah mencapai level yang mencerminkan totalitas Islam secara kaffah (menyeluruh)? Ataukah kita masih berada pada tahap harapan dan cita-cita yang belum diperkuat dengan usaha yang maksimal?
Renungan ini seharusnya memotivasi kita untuk melakukan evaluasi diri secara mendalam. Mari kita bertanya pada diri sendiri:
- Apa yang selama ini menghalangi kita untuk mengabdi kepada Allah secara total?
- Apakah prioritas hidup kita sudah benar-benar selaras dengan tujuan penciptaan kita?
- Bagaimana cara kita meningkatkan kesadaran dan kecerdasan spiritual agar pengabdian kita kepada Allah menjadi lebih sempurna?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita dapat memperbaiki langkah-langkah hidup kita. Pengabdian kepada Allah bukan sekadar ritual, tetapi harus mencakup setiap aspek kehidupan. Mulai dari niat, perbuatan, hingga konsekuensi dari tindakan kita, semuanya harus ditujukan untuk mencari ridha Allah.
Kita juga harus terus belajar dan berupaya agar harapan untuk menjadi seorang hamba yang kaffah tidak hanya berhenti sebagai wacana, tetapi benar-benar diwujudkan dalam kehidupan nyata. Semoga Allah membimbing kita untuk selalu berada di jalan-Nya dan menjadikan kita hamba yang mampu mengabdi kepada-Nya dengan sepenuh hati dan jiwa.(husni fahro)