Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

PPN 12%: Beban Baru di Tengah Kelesuan Ekonomi dan Gelombang PHK

277
×

PPN 12%: Beban Baru di Tengah Kelesuan Ekonomi dan Gelombang PHK

Share this article
https://www.freepik.com

ppmindonesia.com, Jakarta – Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari mendatang menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, mulai dari pengusaha, ekonom, hingga masyarakat. Di tengah kondisi daya beli yang lesu dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terus berlanjut, kebijakan ini dinilai akan semakin membebani masyarakat. Pertanyaan pun muncul: mengapa kebijakan ini tetap dipaksakan di saat kondisi ekonomi mayoritas masyarakat sedang sulit?

Kontradiksi Kebijakan di Tengah Kelesuan Ekonomi

Data dan indikator ekonomi saat ini menunjukkan adanya kelesuan yang signifikan. Gelombang PHK terus terjadi, dengan angka terbaru dari Wakil Menteri Tenaga Kerja Immanuel Ebenezer yang menyebutkan bahwa hingga Desember, angka PHK telah menembus 80.000 orang.

Data Kementerian Tenaga Kerja juga mencatat total 67.870 kasus PHK dari Januari hingga November 2024, meningkat 17,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Jumlah ini bahkan telah melampaui total PHK sepanjang tahun 2023 yang berjumlah 64.855 kasus. Provinsi dengan kasus PHK terbanyak adalah DKI Jakarta, diikuti Jawa Tengah, Banten, dan Jawa Barat.

Di tengah situasi ini, pemerintah tetap berkeras melanjutkan kebijakan PPN 12%. Padahal, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menjadi dasar hukum kebijakan ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menurunkan tarif PPN hingga 5%. Mengapa opsi ini tidak dipertimbangkan di tengah kondisi ekonomi yang sulit?

Beban Utang Negara dan Dugaan “Pemaksaan” Kebijakan

Kajian dari Center of Economic and Law Studies (Celios) menduga bahwa “pemaksaan” kebijakan PPN 12% didorong oleh kebutuhan pemerintah untuk mengamankan keuangan negara yang terbebani utang. Pada tahun 2025, pemerintah dihadapkan pada pembayaran utang jatuh tempo sebesar Rp800,33 triliun dan bunga utang sebesar Rp550 triliun, total mencapai Rp1.300 triliun. Angka ini setara dengan 59,3% penerimaan perpajakan pada 2025.

Dalam 10 tahun terakhir, beban bunga utang pemerintah telah melonjak 254%, sementara anggaran untuk subsidi hanya naik 66% dan perlindungan sosial hanya naik 57%. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang prioritas alokasi anggaran pemerintah, di mana porsi pembayaran bunga utang jauh lebih besar dibandingkan alokasi untuk program yang langsung dirasakan masyarakat. Celios juga meragukan efektivitas belanja pemerintah dari pajak untuk mendukung percepatan infrastruktur, mengingat belanja modal dalam 10 tahun terakhir justru minus 12%. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kenaikan PPN tidak serta merta dialokasikan untuk pembangunan yang produktif.

Dampak PPN 12% terhadap Daya Beli Masyarakat

Kenaikan PPN diprediksi akan semakin memperburuk daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. Sifat PPN yang regresif, yaitu tarif yang sama untuk semua tingkat pendapatan, akan memberikan beban yang lebih besar secara proporsional bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kenaikan Upah Minimum sebesar 6,5% dinilai tidak cukup untuk mengimbangi dampak kenaikan harga akibat PPN 12%.

Klaim pemerintah bahwa penerimaan dari PPN 12% sebesar Rp75 triliun akan menyejahterakan masyarakat juga diragukan. Celios berpendapat bahwa dana tersebut kemungkinan besar akan digunakan untuk membayar utang dan bunganya, mengingat imbal hasil surat utang RI yang tinggi (7,1% pada 2025). Hal ini berarti, alih-alih meningkatkan kesejahteraan, kenaikan PPN justru akan menguntungkan para kreditur.

Adaptasi Konsumsi dan Kontraksi Belanja di Berbagai Daerah

Data Mandiri Spending Index (MSI) menunjukkan belanja masyarakat yang lesu. Pertumbuhan mingguan MSI pada kuartal IV-2024 hanya 0,1%, jauh lebih rendah dibandingkan kuartal IV-2023 yang mencapai 0,7%. Kontraksi belanja juga terjadi di beberapa daerah penyumbang PDB terbesar, seperti Bali dan Nusa Tenggara (-1,7%) dan Pulau Jawa (-0,5%).

Masyarakat juga melakukan adaptasi konsumsi, seperti mengurangi intensitas makan di luar rumah (less dining out) dan lebih banyak makan di rumah (more eating in). Tren ini lebih terlihat di kelompok bawah dan menengah, menunjukkan bahwa tekanan ekonomi lebih dirasakan oleh kelompok ini.

Perbandingan Tarif PPN dengan Negara Lain

Memahami posisi Indonesia dalam konteks global terkait tarif  PPN penting untuk melihat apakah  kebijakan ini sejalan dengan praktik internasional. Namun, perbandingan ini tidak serta merta membenarkan atau menyalahkan kebijakan, tetapi memberikan perspektif yang lebih luas.

Berikut perbandingan tarif  PPN di beberapa negara:

  1. Tarif Tinggi (di atas 15%): Hongaria (27%), Swedia (25%), Denmark (25%), Norwegia (25%), Islandia (24%). Negara-negara ini umumnya memiliki sistem welfare state yang kuat.
  2. Tarif Sedang (antara 10% – 15%): Jerman (19%), Prancis (20%), Inggris (20%), Australia (10%), Kanada (5% federal + tarif provinsi).
  3. Tarif Rendah (di bawah 10%): Jepang (10%), Singapura (7%), Taiwan (5%).
  4. Tidak Menerapkan PPN: Amerika Serikat (menerapkan sales tax di tingkat negara bagian).

Posisi Indonesia dengan PPN 12% berada di tengah, namun konteks ekonomi dan sosial Indonesia berbeda dengan negara-negara tersebut. Efektivitas PPN dipengaruhi oleh cakupan barang/jasa, efisiensi pemungutan, penggunaan penerimaan, dan kondisi ekonomi makro.

Kesimpulan

Kebijakan PPN 12% berpotensi memperburuk kondisi ekonomi masyarakat yang sudah tertekan. Beban utang negara dan alokasi anggaran yang kurang tepat disinyalir menjadi pendorong utama kebijakan ini. Dampak regresif PPN akan sangat memberatkan kalangan menengah ke bawah.

Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan mencari solusi yang lebih berpihak pada pemulihan ekonomi masyarakat, seperti efisiensi belanja negara, reformasi perpajakan yang lebih adil, dan penguatan sektor riil. Insentif yang diberikan pun perlu dievaluasi efektivitasnya dalam menjangkau masyarakat yang paling membutuhkan, bukan hanya kelompok tertentu.

Dengan penambahan data PHK yang lebih detail, penjelasan konteks ekonomi Indonesia dalam perbandingan PPN antar negara, dan penekanan pada alternatif kebijakan, tulisan ini menjadi lebih komprehensif dan informatif.(asyary)

Example 120x600