Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

PPN 12%: Dilema di Tengah Kelesuan Ekonomi dan Beban Utang Negara

252
×

PPN 12%: Dilema di Tengah Kelesuan Ekonomi dan Beban Utang Negara

Share this article
https://www.freepik.com

ppmindonesia.com, Jakarta– Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari mendatang telah memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan. Di tengah kondisi ekonomi yang lesu, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih berlanjut, dan beban utang negara yang semakin membengkak, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan krusial: apakah kenaikan PPN ini merupakan solusi tepat atau justru akan semakin memperburuk situasi dan membebani masyarakat?

Kelesuan Ekonomi dan Gelombang PHK: Tantangan Nyata yang Mengancam Daya Beli

Indikator ekonomi saat ini jelas menunjukkan perlambatan signifikan. Data terbaru dari Wakil Menteri Tenaga Kerja Immanuel Ebenezer mengungkapkan angka PHK telah mencapai 80.000 orang hingga Desember. Data Kementerian Ketenagakerjaan juga mencatat 67.870 kasus PHK dari Januari hingga November 2024, melonjak 17,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, bahkan melampaui total PHK sepanjang 2023 (64.855 kasus). Provinsi dengan kasus PHK tertinggi adalah DKI Jakarta, diikuti Jawa Tengah, Banten, dan Jawa Barat, mengindikasikan dampak yang merata di pusat-pusat ekonomi.

Kondisi ini secara langsung menekan daya beli masyarakat. Hilangnya sumber pendapatan akibat PHK memaksa rumah tangga untuk memprioritaskan pengeluaran pada kebutuhan pokok. Dalam situasi genting ini, kenaikan PPN menjadi 12% akan semakin memperberat beban ekonomi masyarakat, terutama kelompok rentan.

Beban Utang Negara: Lingkaran Setan yang Membebani Fiskal

Salah satu justifikasi utama pemerintah menaikkan PPN adalah untuk mengamankan keuangan negara yang terbebani utang. Kajian Center of Economic and Law Studies (Celios) menduga kuat bahwa kebijakan ini didorong oleh kebutuhan mendesak untuk membayar utang jatuh tempo sebesar Rp800,33 triliun dan bunga utang Rp550 triliun pada 2025, total mencapai Rp1.300 triliun atau setara dengan 59,3% penerimaan perpajakan yang diproyeksikan untuk 2025.

Dalam 10 tahun terakhir, beban bunga utang pemerintah telah melonjak 254%, sementara anggaran untuk subsidi hanya naik 66% dan perlindungan sosial hanya 57%. Disparitas ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai prioritas alokasi anggaran dan keberpihakan pemerintah. Celios juga menyoroti inefisiensi belanja pemerintah, terutama dalam belanja modal untuk infrastruktur yang justru minus 12% dalam 10 tahun terakhir. Hal ini menimbulkan keraguan apakah kenaikan PPN akan efektif dialokasikan untuk pembangunan produktif atau justru habis untuk membayar kewajiban utang.

Pemerintah terjebak dalam dilema klasik: kebutuhan pendapatan negara yang meningkat untuk membayar utang dan membiayai program pembangunan berbenturan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang lesu dan potensi dampak negatif kenaikan PPN terhadap daya beli.

Dampak Regresif PPN 12% terhadap Daya Beli dan Konsumsi Masyarakat

Sifat regresif PPN, di mana beban pajak yang sama dipikul oleh semua lapisan pendapatan, akan dirasakan lebih berat oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Kenaikan harga barang dan jasa akibat PPN 12% akan semakin menekan daya beli yang sudah tertekan oleh PHK dan inflasi. Kenaikan Upah Minimum sebesar 6,5% jelas tidak mencukupi untuk mengkompensasi dampak kenaikan harga yang lebih signifikan.

Mandiri Spending Index (MSI) mengonfirmasi lesunya belanja masyarakat. Pertumbuhan mingguan MSI pada kuartal IV-2024 hanya 0,1%, jauh di bawah kuartal IV-2023 (0,7%). Kontraksi belanja juga terjadi di daerah penyumbang PDB terbesar, seperti Bali dan Nusa Tenggara (-1,7%) dan Pulau Jawa (-0,5%). Perubahan perilaku konsumsi juga terlihat, dengan masyarakat mengurangi makan di luar rumah (less dining out) dan beralih ke makan di rumah (more eating in), terutama di kalangan menengah ke bawah.

Perbandingan Internasional dan Konteks Indonesia

Membandingkan tarif PPN Indonesia dengan negara lain memberikan perspektif. Negara dengan tarif PPN tinggi (di atas 15%) umumnya memiliki sistem welfare state yang kuat, seperti Hongaria (27%), Swedia (25%), dan Denmark (25%). Negara dengan tarif sedang (10%-15%) antara lain Jerman (19%), Prancis (20%), dan Australia (10%). Negara dengan tarif rendah (di bawah 10%) seperti Jepang (10%), Singapura (7%), dan Taiwan (5%). Amerika Serikat menerapkan sales tax di tingkat negara bagian.

Meski tarif PPN 12% Indonesia berada di tengah dalam perbandingan global, konteks ekonomi dan sosial Indonesia sangat berbeda. Efektivitas PPN dipengaruhi oleh cakupan barang/jasa, efisiensi pemungutan, penggunaan penerimaan, dan kondisi ekonomi makro. Penerapan PPN di negara dengan welfare state yang mapan berbeda dengan di negara berkembang seperti Indonesia yang masih berjuang dengan ketimpangan ekonomi dan sosial.

Rekomendasi Kebijakan Alternatif

Kebijakan PPN 12% menghadirkan dilema kompleks di tengah kelesuan ekonomi dan beban utang negara. Dampak regresifnya berpotensi memperburuk daya beli, terutama bagi kalangan menengah ke bawah. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan mengkaji solusi alternatif yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan, di antaranya:

  • Prioritaskan Efisiensi Belanja Negara: Pemerintah harus memprioritaskan efisiensi dan efektivitas belanja negara, mengurangi pemborosan dan inefisiensi, serta mengoptimalkan alokasi anggaran untuk program-program yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
  • Reformasi Perpajakan yang Progresif dan Berkeadilan: Menerapkan sistem perpajakan yang lebih progresif, di mana beban pajak lebih besar ditanggung oleh kelompok berpenghasilan tinggi dan korporasi besar, dapat meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat berpenghasilan rendah.
  • Fokus pada Penguatan Sektor Riil dan UMKM: Mendorong pertumbuhan sektor riil melalui investasi yang tepat sasaran, kemudahan berusaha, dan dukungan bagi UMKM dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan memperkuat fundamental ekonomi.
  • Evaluasi dan Restrukturisasi Utang: Pemerintah perlu mengevaluasi dan merestrukturisasi utang secara komprehensif untuk mengurangi beban pembayaran bunga dan pokok utang di masa mendatang.

Keputusan terkait PPN 12% harus mempertimbangkan dampaknya secara holistik dan jangka panjang bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan yang hanya berfokus pada peningkatan penerimaan negara tanpa mempertimbangkan kondisi riil masyarakat berpotensi kontraproduktif dan memperdalam krisis ekonomi.(asyary)

ppmindonesia.com, Jakarta– Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari mendatang telah memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan. Di tengah kondisi ekonomi yang lesu, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih berlanjut, dan beban utang negara yang semakin membengkak, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan krusial: apakah kenaikan PPN ini merupakan solusi tepat atau justru akan semakin memperburuk situasi dan membebani masyarakat?

Kelesuan Ekonomi dan Gelombang PHK: Tantangan Nyata yang Mengancam Daya Beli

Indikator ekonomi saat ini jelas menunjukkan perlambatan signifikan. Data terbaru dari Wakil Menteri Tenaga Kerja Immanuel Ebenezer mengungkapkan angka PHK telah mencapai 80.000 orang hingga Desember. Data Kementerian Ketenagakerjaan juga mencatat 67.870 kasus PHK dari Januari hingga November 2024, melonjak 17,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, bahkan melampaui total PHK sepanjang 2023 (64.855 kasus). Provinsi dengan kasus PHK tertinggi adalah DKI Jakarta, diikuti Jawa Tengah, Banten, dan Jawa Barat, mengindikasikan dampak yang merata di pusat-pusat ekonomi.

Kondisi ini secara langsung menekan daya beli masyarakat. Hilangnya sumber pendapatan akibat PHK memaksa rumah tangga untuk memprioritaskan pengeluaran pada kebutuhan pokok. Dalam situasi genting ini, kenaikan PPN menjadi 12% akan semakin memperberat beban ekonomi masyarakat, terutama kelompok rentan.

Beban Utang Negara: Lingkaran Setan yang Membebani Fiskal

Salah satu justifikasi utama pemerintah menaikkan PPN adalah untuk mengamankan keuangan negara yang terbebani utang. Kajian Center of Economic and Law Studies (Celios) menduga kuat bahwa kebijakan ini didorong oleh kebutuhan mendesak untuk membayar utang jatuh tempo sebesar Rp800,33 triliun dan bunga utang Rp550 triliun pada 2025, total mencapai Rp1.300 triliun atau setara dengan 59,3% penerimaan perpajakan yang diproyeksikan untuk 2025.

Dalam 10 tahun terakhir, beban bunga utang pemerintah telah melonjak 254%, sementara anggaran untuk subsidi hanya naik 66% dan perlindungan sosial hanya 57%. Disparitas ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai prioritas alokasi anggaran dan keberpihakan pemerintah. Celios juga menyoroti inefisiensi belanja pemerintah, terutama dalam belanja modal untuk infrastruktur yang justru minus 12% dalam 10 tahun terakhir. Hal ini menimbulkan keraguan apakah kenaikan PPN akan efektif dialokasikan untuk pembangunan produktif atau justru habis untuk membayar kewajiban utang.

Pemerintah terjebak dalam dilema klasik: kebutuhan pendapatan negara yang meningkat untuk membayar utang dan membiayai program pembangunan berbenturan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang lesu dan potensi dampak negatif kenaikan PPN terhadap daya beli.

Dampak Regresif PPN 12% terhadap Daya Beli dan Konsumsi Masyarakat

Sifat regresif PPN, di mana beban pajak yang sama dipikul oleh semua lapisan pendapatan, akan dirasakan lebih berat oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Kenaikan harga barang dan jasa akibat PPN 12% akan semakin menekan daya beli yang sudah tertekan oleh PHK dan inflasi. Kenaikan Upah Minimum sebesar 6,5% jelas tidak mencukupi untuk mengkompensasi dampak kenaikan harga yang lebih signifikan.

Mandiri Spending Index (MSI) mengonfirmasi lesunya belanja masyarakat. Pertumbuhan mingguan MSI pada kuartal IV-2024 hanya 0,1%, jauh di bawah kuartal IV-2023 (0,7%). Kontraksi belanja juga terjadi di daerah penyumbang PDB terbesar, seperti Bali dan Nusa Tenggara (-1,7%) dan Pulau Jawa (-0,5%). Perubahan perilaku konsumsi juga terlihat, dengan masyarakat mengurangi makan di luar rumah (less dining out) dan beralih ke makan di rumah (more eating in), terutama di kalangan menengah ke bawah.

Perbandingan Internasional dan Konteks Indonesia

Membandingkan tarif PPN Indonesia dengan negara lain memberikan perspektif. Negara dengan tarif PPN tinggi (di atas 15%) umumnya memiliki sistem welfare state yang kuat, seperti Hongaria (27%), Swedia (25%), dan Denmark (25%). Negara dengan tarif sedang (10%-15%) antara lain Jerman (19%), Prancis (20%), dan Australia (10%). Negara dengan tarif rendah (di bawah 10%) seperti Jepang (10%), Singapura (7%), dan Taiwan (5%). Amerika Serikat menerapkan sales tax di tingkat negara bagian.

Meski tarif PPN 12% Indonesia berada di tengah dalam perbandingan global, konteks ekonomi dan sosial Indonesia sangat berbeda. Efektivitas PPN dipengaruhi oleh cakupan barang/jasa, efisiensi pemungutan, penggunaan penerimaan, dan kondisi ekonomi makro. Penerapan PPN di negara dengan welfare state yang mapan berbeda dengan di negara berkembang seperti Indonesia yang masih berjuang dengan ketimpangan ekonomi dan sosial.

Rekomendasi Kebijakan Alternatif

Kebijakan PPN 12% menghadirkan dilema kompleks di tengah kelesuan ekonomi dan beban utang negara. Dampak regresifnya berpotensi memperburuk daya beli, terutama bagi kalangan menengah ke bawah. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan mengkaji solusi alternatif yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan, di antaranya:

  • Prioritaskan Efisiensi Belanja Negara: Pemerintah harus memprioritaskan efisiensi dan efektivitas belanja negara, mengurangi pemborosan dan inefisiensi, serta mengoptimalkan alokasi anggaran untuk program-program yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
  • Reformasi Perpajakan yang Progresif dan Berkeadilan: Menerapkan sistem perpajakan yang lebih progresif, di mana beban pajak lebih besar ditanggung oleh kelompok berpenghasilan tinggi dan korporasi besar, dapat meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat berpenghasilan rendah.
  • Fokus pada Penguatan Sektor Riil dan UMKM: Mendorong pertumbuhan sektor riil melalui investasi yang tepat sasaran, kemudahan berusaha, dan dukungan bagi UMKM dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan memperkuat fundamental ekonomi.
  • Evaluasi dan Restrukturisasi Utang: Pemerintah perlu mengevaluasi dan merestrukturisasi utang secara komprehensif untuk mengurangi beban pembayaran bunga dan pokok utang di masa mendatang.

Keputusan terkait PPN 12% harus mempertimbangkan dampaknya secara holistik dan jangka panjang bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan yang hanya berfokus pada peningkatan penerimaan negara tanpa mempertimbangkan kondisi riil masyarakat berpotensi kontraproduktif dan memperdalam krisis ekonomi.(asyary)

Example 120x600