Scroll untuk baca artikel
Nasional

Mufassir atau Mutawassil? Dilema Interpretasi Al-Qur’an dalam Perspektif Filsafat

276
×

Mufassir atau Mutawassil? Dilema Interpretasi Al-Qur’an dalam Perspektif Filsafat

Share this article

ppmindonesia.com. Jakarta– Dalam sejarah Islam, upaya memahami Al-Qur’an telah melahirkan berbagai pendekatan interpretasi yang dikenal dengan istilah tafsir. Para mufassir berusaha menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an melalui konteks bahasa, sejarah, sosial, dan budaya.

Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah seorang mufassir benar-benar mampu memahami maksud ilahi secara sempurna, ataukah ia hanya seorang mutawassil (perantara) yang mendekatkan makna ayat kepada manusia dengan keterbatasan akalnya?

Dilema ini menjadi penting dalam perspektif filsafat, terutama dalam memahami perbedaan antara ilmu manusia dan ilmu Tuhan. Al-Qur’an menegaskan dalam Surah Al-Baqarah (2:216) bahwa “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Pernyataan ini menggarisbawahi keterbatasan manusia dalam memahami hikmah ilahi. Oleh karena itu, interpretasi manusia terhadap Al-Qur’an sering kali tidak terlepas dari subjektivitas, bias, dan asumsi-asumsi yang dibentuk oleh konteks zamannya.

Para mufassir tradisional, seperti Imam Al-Tabari, Imam Al-Qurtubi, dan Ibnu Katsir, menggunakan pendekatan yang sangat terstruktur berdasarkan ilmu bahasa Arab, asbabun nuzul (konteks pewahyuan), dan hadis Nabi Muhammad SAW. Pendekatan ini berusaha mendekati makna asli yang dikehendaki Allah.

Namun, pendekatan ini tetap tidak bisa menghindarkan tafsir dari interpretasi manusiawi yang tidak mutlak. Dalam pandangan filsafat hermeneutika, setiap teks yang ditafsirkan oleh manusia akan selalu dipengaruhi oleh “lingkaran hermeneutika” atau bias yang tidak dapat sepenuhnya dihindari.

Sebaliknya, pendekatan mutawassil memandang manusia lebih sebagai perantara yang menerima pancaran makna dari teks ilahi, tanpa berusaha untuk memaksakan pemahamannya. Pendekatan ini cenderung berakar pada tasawuf, di mana tujuan memahami Al-Qur’an adalah untuk menyelaraskan hati dan pikiran dengan kehendak ilahi, bukan untuk menguasai maknanya.

Dalam konteks ini, seorang mutawassil tidak berperan sebagai penafsir yang mendominasi teks, melainkan sebagai individu yang menyerahkan diri untuk diterangi oleh cahaya wahyu.

Filsafat mengajukan pertanyaan mendasar: apakah mungkin bagi manusia untuk menafsirkan wahyu secara objektif? Dalam filsafat Islam, pemikiran seperti ini sering kali dirujuk dalam karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Al-Ghazali, misalnya, berpendapat bahwa akal manusia memiliki keterbatasan dalam memahami hakikat kebenaran, sehingga membutuhkan petunjuk langsung dari wahyu. Ibn Arabi, di sisi lain, melihat bahwa teks Al-Qur’an memiliki dimensi lahiriah (eksoteris) dan batiniah (esoteris). Pemahaman batiniah ini hanya dapat dicapai melalui pengalaman spiritual yang mendalam, bukan sekadar analisis rasional.

Dalam realitasnya, dunia Islam dipenuhi oleh berbagai kitab tafsir yang mencerminkan upaya para mufassir untuk menjelaskan Al-Qur’an. Namun, jumlah tafsir yang sangat banyak ini sering kali memunculkan perbedaan pendapat yang tajam.

Bahkan, tidak jarang tafsir digunakan untuk membenarkan pandangan kelompok tertentu atau mendukung agenda politik. Dalam konteks ini, dilema antara mufassir dan mutawassil menjadi semakin relevan. Apakah tafsir-tafsir tersebut benar-benar membawa manusia lebih dekat kepada Allah, atau justru menjauhkan karena interpretasi yang terlalu dipaksakan?

Al-Qur’an sendiri memberikan peringatan dalam Surah Ali Imran (3:7) bahwa tidak ada yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat kecuali Allah. Orang-orang yang kokoh ilmunya (rāsikhūna fī al-‘ilm) hanya berkata, “Kami beriman kepadanya; semuanya dari sisi Tuhan kami.” Ayat ini menunjukkan bahwa dalam menghadapi teks wahyu, diperlukan sikap kerendahan hati dan pengakuan terhadap keterbatasan manusia.

Dalam perspektif filsafat, dilema ini dapat dilihat sebagai refleksi dari perbedaan antara epistemologi manusia dan epistemologi ilahi. Manusia, dengan segala keterbatasannya, hanya mampu memahami sebagian kecil dari hikmah yang terkandung dalam wahyu.

Oleh karena itu, pendekatan mutawassil dapat menjadi solusi untuk mengatasi keangkuhan intelektual yang sering kali muncul dalam tafsir. Dengan menjadi mutawassil, manusia tidak memaksakan makna, tetapi membiarkan wahyu menuntunnya menuju pencerahan.

Akhirnya, dilema antara mufassir dan mutawassil adalah cerminan dari dinamika hubungan manusia dengan wahyu. Apakah manusia akan terus mencoba “menguasai” teks ilahi dengan akalnya, ataukah ia akan mengambil posisi sebagai hamba yang rendah hati, yang membiarkan dirinya diterangi oleh cahaya Al-Qur’an?

Pilihan ini tidak hanya menentukan cara kita memahami wahyu, tetapi juga bagaimana kita menjalani kehidupan sebagai makhluk yang diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya.(husni fahro)

Example 120x600