ppmindonesia.com, Jakarta – Pemahaman terhadap istilah asraa yang terdapat dalam Al-Qur’an, khususnya pada Surah Al-Isra’ ayat 1, telah menjadi topik yang menarik untuk dibahas dalam berbagai kajian tafsir dan hermeneutika.
Ayat ini sering digunakan sebagai landasan utama untuk menjelaskan peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW, sebuah peristiwa monumental yang menjadi salah satu tonggak penting dalam Islam.
Namun, wacana rekonstruksi makna asraa melalui pendekatan hermeneutika Al-Qur’an membuka ruang untuk memahami ayat ini secara lebih mendalam, khususnya dalam konteks teks dan makna simboliknya.
Makna Asraa dalam Al-Qur’an
Secara literal, kata asraa berasal dari akar kata s-r-w atau s-r-y yang berarti “berjalan di malam hari” atau “melakukan perjalanan malam.” Dalam Surah Al-Isra’ ayat 1, Allah SWT berfirman:
“Maha Suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.”
Namun, asraa dalam Al-Qur’an tidak hanya muncul pada Surah Al-Isra’ (17:1). Kata ini juga ditemukan dalam Surah Al-Anfal (8:67) dan (8:70), yang dalam konteksnya diartikan sebagai “tawanan.
” Penggunaan kata asraa yang seragam dalam Al-Qur’an memunculkan perdebatan tentang maknanya. Apakah istilah ini merujuk pada perjalanan fisik atau simbolis, atau memiliki dimensi lain yang lebih metaforis?
Pendekatan Hermeneutika untuk Rekonstruksi Makna
Hermeneutika sebagai metode tafsir Al-Qur’an memberikan peluang untuk menginterpretasikan kata asraa dengan mempertimbangkan konteks historis, linguistik, dan simbolik. Berikut adalah tiga langkah pendekatan hermeneutika untuk merekonstruksi makna:
1.Konteks Linguistik dan Korelasi Ayat
Penggunaan kata asraa dalam Surah Al-Isra’ (17:1) dan Surah Al-Anfal (8:67, 8:70) menunjukkan bahwa kata ini memiliki cakupan makna yang fleksibel. Dalam konteks Surah Al-Isra’, makna asraa sering diterjemahkan sebagai “memperjalankan.
” Namun, jika merujuk pada Surah Al-Anfal, kata ini diartikan sebagai “tawanan.” Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya penggunaan simbolis dalam Surah Al-Isra’, yaitu perjalanan spiritual yang mengikat seseorang dalam pengabdian kepada Allah.
2.Pemaknaan Simbolik Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa
Ayat ini menyebutkan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Secara fisik, Masjidil Haram merujuk pada Ka’bah di Mekah, sedangkan Masjidil Aqsa merujuk pada tempat suci di Palestina.
Namun, dalam tafsir simbolis, Masjidil Haram dapat dimaknai sebagai “kebenaran mutlak dari Allah” (al-haqq min rabbika), sementara Masjidil Aqsa diartikan sebagai “capaian spiritual tertinggi yang berada di ufuk pandangan manusia.”
Jika diinterpretasikan secara metaforis, asraa dalam Surah Al-Isra’ (17:1) adalah perjalanan spiritual seseorang dalam meniti jalan kebenaran, dari kesadaran akan keesaan Allah hingga mencapai pemahaman mendalam tentang tanda-tanda kebesaran-Nya (ayatullah).
3.Dimensi Malam sebagai Waktu Spiritualitas
Frasa “pada suatu malam” dalam ayat ini juga memiliki signifikansi penting. Malam sering kali diasosiasikan dengan keheningan, refleksi, dan introspeksi spiritual.
Perjalanan asraa dapat dimaknai sebagai proses pengabdian seseorang dalam keheningan malam, yang memungkinkan dia melihat tanda-tanda kebesaran Allah melalui penghayatan spiritual mendalam.
Potensi Tafsir Baru: Asraa sebagai Pengabdian dalam Tawanan Malam
Berdasarkan pendekatan hermeneutika ini, asraa tidak semata-mata berarti perjalanan fisik, melainkan bisa dimaknai sebagai “gerakan pengabdian dalam keterikatan spiritual kepada Allah.”
Orang yang melakukan asraa adalah individu yang bergerak dalam tawanan pengabdian di malam hari, berangkat dari keyakinan mutlak (Masjidil Haram) menuju pemahaman tertinggi tentang ayat-ayat Allah (Masjidil Aqsa).
Makna ini diperkuat oleh ujung ayat yang berbunyi: “agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” Tanda-tanda Allah hanya bisa dilihat oleh orang yang menjalani pengabdian sepenuh hati, bergerak dari kesadaran religius menuju kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
Relevansi dengan Kehidupan Modern
Rekonstruksi makna asraa dalam perspektif hermeneutika mengajarkan bahwa perjalanan spiritual manusia adalah sebuah proses yang harus dilalui dengan pengabdian total kepada Allah.
Dalam kehidupan modern, perjalanan ini bisa dimaknai sebagai upaya memahami hakikat kehidupan melalui introspeksi, ibadah, dan pencarian kebenaran yang hakiki.
Pemahaman simbolis ini membuka ruang untuk melihat Surah Al-Isra’ ayat 1 tidak hanya sebagai narasi perjalanan Nabi Muhammad SAW, tetapi juga sebagai panduan spiritual bagi setiap individu Muslim.
Dengan demikian, asraa menjadi relevan sebagai landasan bagi manusia untuk bergerak dari kesadaran akan Tuhan menuju pencerahan spiritual yang mendalam.
Pada akhirnya, makna asraa mengingatkan bahwa untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah, manusia perlu terikat dalam pengabdian kepada-Nya dan bergerak menuju pemahaman yang lebih tinggi.
Tafsir ini memberikan perspektif yang lebih luas dan relevan bagi umat Islam dalam memahami teks suci Al-Qur’an. (husni fahro)