Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Kembali kepada Fitrah: Meneladani Keselamatan Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an

233
×

Kembali kepada Fitrah: Meneladani Keselamatan Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an

Share this article

ppmindonesia.com, JakartaFitrah manusia adalah kondisi asli yang Allah tanamkan dalam setiap insan sejak awal penciptaannya. Dalam Al-Qur’an, fitrah sering kali diidentifikasi sebagai kecenderungan alami manusia untuk mengenal, menyembah, dan tunduk kepada Allah, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Ar-Rum (30:30): “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.

Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Ayat ini menegaskan bahwa Islam, sebagai agama yang lurus, adalah refleksi langsung dari fitrah manusia.

Kembali kepada fitrah berarti mengembalikan diri kepada jalan kebenaran yang telah Allah tetapkan. Hal ini mencakup kesadaran akan hubungan manusia dengan Sang Pencipta, dengan sesama makhluk, dan dengan alam semesta.

Al-Qur’an menunjukkan bahwa keselamatan manusia terletak pada pengakuan terhadap kelemahan diri sebagai makhluk, serta kepasrahan penuh kepada Allah (aslama) dengan kesadaran dan keikhlasan.

Dalam Surah Adz-Dzariyat (51:56), Allah berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama kehidupan manusia adalah mengabdi kepada Allah, sebagai bagian dari fitrah penciptaannya.

Namun, perjalanan manusia untuk kembali kepada fitrah sering kali dipenuhi oleh berbagai tantangan. Banyak yang terjebak dalam kebingungan akibat pengaruh duniawi yang menutupi hati nurani mereka. Al-Qur’an mencatat bahwa manusia yang mengikuti hawa nafsu dan melupakan fitrah cenderung terjerumus dalam kebinasaan.

Dalam Surah Al-A’raf (7:172), Allah mengingatkan tentang perjanjian primordial yang diambil dari seluruh manusia: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.’”

Kesaksian ini menunjukkan bahwa setiap manusia telah dibekali pengakuan terhadap Allah sejak awal penciptaannya.

Untuk meneladani keselamatan manusia dalam perspektif Al-Qur’an, diperlukan langkah-langkah yang konkret. Pertama, manusia harus menghidupkan kembali kesadaran akan fitrahnya melalui refleksi mendalam terhadap ayat-ayat Allah, baik yang tertulis dalam Al-Qur’an maupun yang tercermin di alam semesta. Al-Qur’an menyeru manusia untuk memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah sebagai cara untuk menguatkan iman dan kembali kepada fitrah.

Dalam Surah Ali Imran (3:190-191), disebutkan: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’”

Kedua, manusia perlu menjadikan ibadah sebagai sarana utama untuk menjaga hubungan dengan Allah. Dalam Islam, ibadah bukan hanya mencakup ritual seperti salat, puasa, dan zakat, tetapi juga mencakup setiap tindakan yang dilakukan dengan niat untuk mencari keridaan Allah.

Dengan cara ini, manusia tidak hanya memenuhi tujuan hidupnya sebagai makhluk Allah, tetapi juga menguatkan kesadaran akan fitrah yang telah Allah tanamkan.

Ketiga, pentingnya memperhatikan ajaran-ajaran yang murni berasal dari Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam Surah Ali Imran (3:19): “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” Pemahaman ini mengharuskan manusia untuk menimbang setiap ajaran keagamaan yang diikutinya berdasarkan landasan wahyu, bukan sekadar tradisi atau kebiasaan yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan sunnah.

Terakhir, Al-Qur’an menekankan pentingnya ilmu sebagai landasan dalam beragama. Dalam Surah Al-Isra (17:36), Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya.

Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” Ayat ini menuntut setiap Muslim untuk memastikan bahwa keyakinan dan amal ibadahnya didasarkan pada pengetahuan yang benar. Hal ini juga menjadi wujud dari kebebasan kesadaran (taharrau rosyada) sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Jin (72:14).

Kembali kepada fitrah adalah jalan menuju keselamatan. Dalam perspektif Al-Qur’an, hal ini menuntut manusia untuk mengenali dirinya sebagai makhluk yang lemah dan bergantung sepenuhnya kepada Allah.

Keselamatan sejati hanya dapat diraih dengan tunduk kepada Allah secara sadar dan ikhlas, menjalani hidup sesuai dengan ajaran Islam yang murni, dan beribadah berdasarkan ilmu yang benar. Dengan demikian, manusia tidak hanya memenuhi tujuan penciptaannya, tetapi juga menemukan ketenangan dan kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.(husni fahro)

Example 120x600