Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Partisipasi Rakyat: Pilar Terlupakan Menuju Indonesia Emas

9
×

Partisipasi Rakyat: Pilar Terlupakan Menuju Indonesia Emas

Share this article

Penulis ; acank | Editor ; asyary |

ppmindonesia.com.Jakarta– Ketika Indonesia menatap tahun 2045 sebagai tonggak sejarah satu abad kemerdekaannya, berbagai rencana besar telah disusun. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 telah memuat visi ambisius: terwujudnya Indonesia sebagai negara yang bersatu, berdaulat, maju, dan berkelanjutan. 

Tapi di balik narasi besar tentang infrastruktur, teknologi, dan pertumbuhan ekonomi, ada satu kata kunci yang perlahan memudar dari pusat wacana: partisipasi rakyat.

Apakah kita masih percaya bahwa rakyat adalah subjek pembangunan, bukan sekadar objek? Apakah kita masih memberi ruang pada suara warga, bukan hanya suara elite? Atau, jangan-jangan kita telah lupa bahwa partisipasi adalah pilar utama demokrasi dan keadilan sosial?

Paradoks Pembangunan Modern

Dalam dua dekade terakhir, pembangunan di Indonesia banyak didorong oleh logika teknokratis: efisiensi, pertumbuhan ekonomi, dan percepatan pembangunan fisik. 

Tapi dalam kecepatan itu, muncul paradoks: proyek jalan yang dibangun tanpa partisipasi warga sering memicu konflik lahan; program bantuan sosial yang disalurkan tanpa mendengar suara masyarakat kerap salah sasaran; desa-desa yang ‘dimodernisasi’ dari atas sering kehilangan identitas dan daya hidupnya sendiri.

Partisipasi rakyat bukan soal musyawarah formal semata. Ia adalah ruang dan hak warga untuk terlibat secara aktif dalam menentukan masa depan mereka sendiri—dari merancang, memutuskan, hingga mengawasi pembangunan yang terjadi di sekitarnya.

PPM dan Warisan Partisipasi yang Terlupakan

Indonesia pernah punya warisan kuat dalam membangun dari bawah. Salah satunya adalah keberadaan PPM (Pusat Peranserta Masyarakat)—sebuah gerakan pembangunan partisipatif yang lahir dari kesadaran bahwa masyarakat punya pengetahuan, kekuatan, dan aspirasi yang tak boleh diabaikan.

Sayangnya, dalam hiruk-pikuk reformasi dan gelombang pembangunan nasional yang makin terpusat, nama PPM perlahan surut dari kesadaran publik. 

Banyak generasi muda bahkan tidak lagi mengenal organisasi ini, apalagi memahami kontribusinya terhadap pemberdayaan masyarakat sejak era 80-an hingga awal 2000-an.

Namun hari ini, saat negara menekankan inklusivitas, keadilan, dan partisipasi dalam visi Indonesia Emas, semangat PPM justru menjadi sangat relevan kembali.

Kembalinya Pilar yang Hilang

Mari kita tengok kembali misi besar Indonesia dalam RPJPN 2025–2045:

  1. Melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia
  2. Memajukan kesejahteraan umum
  3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
  4. Ikut serta dalam ketertiban dunia berdasarkan keadilan sosial

Keempat misi ini tak bisa hanya dijalankan oleh negara dari atas ke bawah. Ia menuntut pelibatan rakyat. Ia hanya bisa berhasil jika pembangunan dilakukan bersama rakyat, bukan atas nama rakyat. Itulah inti dari paradigma partisipatif.

Dalam konteks ini, PPM dan seluruh pegiat pembangunan partisipatif punya peran strategis. Bukan sebagai organisasi masa lalu, tapi sebagai pelopor masa depan. 

Sebagai penggerak pelibatan rakyat, pembentuk kader pemberdayaan, dan fasilitator masyarakat dari desa hingga kota.

Saatnya Rakyat Bicara dan Dilibatkan

Indonesia Emas tak bisa dibangun hanya dengan beton dan teknologi. Ia memerlukan ketahanan sosial, modal budaya, dan kepercayaan antarwarga dan negara. 

Semua itu hanya bisa tumbuh dari ruang partisipatif yang sehat dan terbuka.

Inilah saatnya kita menghidupkan kembali metode pembangunan yang menempatkan rakyat sebagai mitra sejajar. 

Inilah saatnya fasilitator desa, kader pemberdayaan masyarakat, pegiat komunitas, dan tenaga ahli perencanaan partisipatif kembali mengambil peran. 

Bukan untuk mengulang masa lalu, tapi untuk membangun masa depan yang lebih inklusif.

Menuju Indonesia Emas yang Benar-Benar Milik Semua

Visi besar tak akan berarti tanpa pelibatan rakyat. Rencana megastrategis akan menjadi kosong bila tak menjawab kebutuhan nyata warga. Oleh karena itu, partisipasi bukan sekadar pelengkap, melainkan fondasi dari pembangunan yang adil, lestari, dan bermartabat.

Kini saatnya kita bertanya kembali:

 Siapa yang mewakili suara rakyat di desa-desa terpencil?

Siapa yang menjembatani aspirasi warga dengan kebijakan publik?

Siapa yang akan membangun Indonesia dari akar, bukan dari menara gading?

Jawabannya bisa jadi adalah kita semua—dan PPM sebagai salah satu rumah bagi mereka yang memilih jalan sunyi tapi bermakna: mengorganisir rakyat, memfasilitasi harapan, dan menyalakan kembali pilar yang sempat dilupakan: partisipasi.(acank)

Example 120x600