“Iqra’!”
ppmindonesia.com.Jakarta – Satu kata yang membuka revolusi terbesar dalam sejarah peradaban manusia. Sebuah seruan yang ditujukan bukan kepada seorang sarjana di ruang perpustakaan, melainkan kepada seorang Nabi yang sedang bertafakur di gua sunyi: Muhammad, al-Amin.
Namun, apakah seruan “membaca” itu sekadar anjuran literasi biasa? Ataukah ia mengandung pesan transformatif yang lebih dalam: sebuah revolusi nalar dan pembebasan cara berpikir?
Membaca Sebagai Jalan Iman
Wahyu pertama dalam Surah Al-‘Alaq menyatakan dengan jelas:
“Iqra’ bismi rabbika alladzi khalaq. Khalaqal-insāna min ‘alaq. Iqra’ wa rabbukal-akram. Alladzi ‘allama bil-qalam. ‘Allamal-insāna ma lam ya’lam.”
(Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya). (QS. Al-‘Alaq: 1–5)
Ayat ini tidak hanya berbicara tentang aktivitas membaca, tapi tentang membaca dengan kesadaran Ilahiah, bahwa ilmu tidak bebas nilai. Proses membaca (iqra’) harus terkait erat dengan Rabb—sang Pencipta dan Pengajar.
Menurut Syekh Muhammad Abduh, ayat ini adalah dasar bahwa Islam adalah agama akal dan pengetahuan. “Wahyu pertama bukan tentang syariat, bukan pula ritual, tetapi tentang membaca dan berpikir,” ujarnya dalam tafsir Al-Manar.
Revolusi Nalar: Ketika Wahyu Membangkitkan Akal
Seruan “iqra’” sejatinya adalah pukulan keras terhadap kebekuan intelektual. Ia menggugah manusia agar berani membaca realitas, memahami tanda-tanda zaman, dan menggali makna di balik ciptaan. Dengan kata lain, wahyu mendorong manusia untuk berpikir secara merdeka namun bertanggung jawab.
Sayangnya, dalam sebagian kalangan, pemaknaan “baca” sering disempitkan menjadi ritual atau hafalan tanpa pemahaman. Padahal, Al-Qur’an juga menegaskan:
“Afalā tatafakkarūn?” (Tidakkah kamu berpikir?)
“Afalā ta’qilūn?” (Tidakkah kamu menggunakan akalmu?)
(QS. Al-Baqarah, QS. Al-A’raf, dan puluhan ayat lainnya)
Kata kerja seperti ya’qilūn (menggunakan akal), yatafakkarūn (berpikir), yadzakkarūn (mengambil pelajaran), dan ya’lamūn (mengetahui) menunjukkan bahwa wahyu datang bukan untuk mematikan akal, tapi menghidupkannya.
Baca yang Membebaskan, Bukan Membelenggu
Fazlur Rahman, seorang pemikir Muslim modern dari Pakistan, menyebutkan bahwa “revolusi Islam adalah revolusi moral-intelektual.” Menurutnya, Al-Qur’an mengajak pembacanya untuk aktif secara moral dan rasional. Membaca wahyu bukanlah kegiatan pasif, tetapi dialog kritis antara teks, konteks, dan akal.
Sayangnya, sebagian umat Islam justru memposisikan wahyu sebagai dogma beku. Bukan wahyu yang menjawab realitas, tetapi realitas yang dipaksa tunduk pada tafsir usang.
Inilah yang dikritik Imam Ali bin Abi Thalib:
“Al-Qur’an diam, yang berbicara adalah manusia. Jika mereka membacanya dengan akal yang sakit, maka keluarlah makna yang sakit.”
Iqra’ dan Dunia Digital: Tantangan Baru Akal Sehat
Di era digital ini, semua orang bisa membaca, tapi tak semua mampu memaknai. Kita membaca cepat tapi dangkal, membaca banyak tapi tanpa arah. Bahkan yang paling mengkhawatirkan, kita membaca bukan untuk mencari kebenaran, melainkan membenarkan prasangka.
Di sinilah pentingnya kembali kepada ‘iqra’ dengan nama Tuhan, agar membaca tidak liar. Membaca dengan akal yang sehat, hati yang bersih, dan sikap yang rendah hati. Seperti pesan QS. Al-Baqarah:2,
“Dzālika al-kitābu lā raiba fīh, hudan lil-muttaqīn”
(Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.)
Petunjuk hanya sampai kepada mereka yang bertakwa—yakni mereka yang memadukan akal sehat dengan kesadaran spiritual.
Menjadikan Wahyu sebagai Energi Perubahan
Membaca wahyu bukan sekadar spiritualitas personal. Ia adalah energi perubahan sosial. Bacaan yang benar akan melahirkan empati, keadilan, dan keberanian menolak penindasan. Iqra’ berarti menyadari ketimpangan, lalu berbuat.
Buya Syafi’i Ma’arif pernah berpesan, “Membaca wahyu itu harus jernih dan merdeka. Jangan biarkan ayat-ayat Tuhan disandera kepentingan. Wahyu datang untuk membebaskan.”
Dari Iqra’ Menuju Aksi
Iqra’ adalah panggilan abadi. Bukan hanya kepada Nabi, tapi kepada setiap manusia yang ingin hidup bermakna. Bacalah, tapi jangan sekadar baca. Bacalah dengan akal sehat, dengan kesadaran, dan dengan nama Tuhanmu.
Maka, wahyu tak lagi tinggal di langit. Ia hadir dalam langkah dan laku. Ia membumi sebagai etika, pengetahuan, dan perjuangan kemanusiaan.(emha)