Scroll untuk baca artikel
BeritaSosial Budaya

Lasem, Tiongkok Kecil di Jantung Jawa: Perjumpaan Budaya yang Mengakar

9
×

Lasem, Tiongkok Kecil di Jantung Jawa: Perjumpaan Budaya yang Mengakar

Share this article

Penulis ; acank | Editor ; asyary |

ppmindonesia.com.Jakarta – Di sudut timur laut Pulau Jawa, berdiri sebuah kota kecil yang menyimpan jejak panjang tentang perjumpaan peradaban. Namanya Lasem. Bagi banyak orang, nama ini mungkin hanya sekadar bagian dari peta Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. 

Namun bagi mereka yang bersedia menelusuri sejarahnya, Lasem adalah miniatur kehidupan multikultural yang sejak lama membuktikan bahwa Jawa bukanlah ruang homogen.

Lasem dikenal luas sebagai “Tiongkok Kecil” (Little China) karena sejak abad ke-14 menjadi titik masuk dan hunian tetap bagi para imigran Tionghoa yang datang bersama gelombang besar perdagangan maritim. 

Bukan sekadar singgah, mereka menetap, beranak-pinak, membentuk kampung, dan menanam akar dalam budaya lokal tanpa menghapus identitas asalnya. 

Di sinilah kita menyaksikan sebuah mozaik budaya yang hidup dan bernafas: Tionghoa yang membatik motif pesisir dengan rasa lokal, Jawa yang mengenakan warna merah menyala sebagai warisan Lasem, dan Islam yang tumbuh harmonis di tengah-tengah perbedaan itu.

“Lasem bukan hanya kota tua, tapi laboratorium harmoni,” ujar sejarawan budaya Tionghoa Indonesia, Benny G. Setiono. “Di sini kita bisa belajar bagaimana perbedaan itu dirayakan, bukan diseragamkan.”

Lasem menyimpan lapisan sejarah yang lebih dalam daripada sekadar kedatangan Cheng Ho dan armadanya. Dalam naskah Negarakertagama, nama Lasem disebut sebagai salah satu kerajaan vassal (taklukan) Majapahit yang dipimpin oleh Bhre Lasem, seorang perempuan bijak bernama Dewi Indu. Dalam terjemahan Pupuh V disebutkan, “Adinda Baginda Raja di Wilwatikta: Puteri jelita, bersemayam di Lasem.”

Keberadaan pelabuhan niaga, galangan kapal, dan bangunan administratif pada masa itu menunjukkan bahwa Lasem bukan pinggiran, melainkan salah satu urat nadi kerajaan terbesar Nusantara kala itu. 

Lokasinya yang strategis di jalur perdagangan laut antara Tuban, Surabaya, dan Semarang menjadikan Lasem sebagai magnet para saudagar dari berbagai bangsa.

Setelah Majapahit runtuh, Lasem tetap hidup sebagai kota niaga pesisir. Kolonialisme datang, dan Lasem—seperti banyak kota pesisir lainnya—menjadi arena benturan dan pembauran budaya. Tapi, tak seperti kota lain yang terbelah karena segregasi kolonial, Lasem menemukan cara untuk hidup berdampingan.

Arsitektur Lasem menjadi bukti nyata dari perjumpaan yang mengakar itu. Rumah-rumah tua di Karangturi dan Babagan memadukan langgam arsitektur Cina Selatan dengan sentuhan tropis Jawa. 

Dinding tembok tinggi, genteng bergelombang merah, dan ornamen naga atau bunga seruni menjadi ciri khasnya. Di sisi lain, suara azan dari masjid tua berdentang berdampingan dengan denting lonceng di kelenteng tertua—Tjoe An Bio—yang diyakini berdiri sejak abad ke-15.

Menurut arsitek dan budayawan Yori Antar, Lasem adalah contoh kota yang mampu menjaga warisan arsitektural sebagai ruang hidup, bukan sekadar monumen beku. 

“Di Lasem, rumah bukan hanya tempat tinggal, tapi juga penyimpan ingatan kolektif,” katanya dalam diskusi pelestarian kota lama beberapa waktu lalu.

Tapi Lasem bukan sekadar cerita masa lalu. Ia adalah ruang yang tetap bergeliat di masa kini. Komunitas muda Lasem kini tengah giat merawat identitas mereka melalui batik, seni pertunjukan, dan kuliner lokal. 

Batik Lasem, yang dikenal dengan warna-warna berani seperti merah darah dan biru tua, tak hanya menjadi ikon budaya tapi juga sumber ekonomi kreatif yang bertumbuh.

“Batik Lasem bukan batik biasa,” kata pengusaha batik muda, Linda Widyawati, yang mengelola rumah batik keluarga di Soditan. “Setiap motif mengandung cerita: tentang pelayaran, tentang agama, tentang perjuangan, tentang cinta lintas ras dan keyakinan.”

Namun tantangan tetap ada. Urbanisasi, perubahan iklim, dan arus budaya pop global kerap membuat generasi muda tergoda meninggalkan akar Lasem yang tua itu. 

Dibutuhkan kebijakan pemerintah yang lebih serius dalam melindungi Lasem sebagai situs budaya hidup, bukan hanya menunggu pengakuan formal seperti cagar budaya UNESCO.

Lasem adalah contoh bahwa Indonesia dibentuk oleh persilangan. Bukan oleh satu etnis, satu bahasa, atau satu agama. Kota ini adalah refleksi dari identitas nasional kita yang sejatinya bersifat majemuk.

Maka, ketika kita hari ini dihantui oleh perpecahan dan sentimen identitas, mungkin kita perlu belajar pada Lasem. Sebuah kota kecil di jantung Jawa, yang dari masa ke masa telah membuktikan bahwa perbedaan bukan untuk dijadikan tembok, melainkan jembatan.

“Kita ini bhinneka, dan Lasem adalah salah satu wajah aslinya,” tutur almarhum budayawan Remy Sylado dalam salah satu catatannya tentang budaya pesisir. “Jika Indonesia ingin tahu siapa dirinya, Lasem adalah cerminnya.”

Lasem bukan hanya nama tempat. Ia adalah pelajaran tentang keberanian mencintai perbedaan. Tentang bagaimana menjadi Indonesia—dengan segala kompleksitasnya—tanpa kehilangan akar. (acank)

 

Example 120x600