ppmindonesia.com.Jakarta —Gegap gempita percepatan pembangunan Gudang dan Gerai Koperasi Desa Merah Putih kini terasa di berbagai penjuru negeri. Secara serentak, dari desa-desa terpencil hingga ke pusat kota, pemandangan serupa hadir: plang-plang proyek bertuliskan “Pembangunan Gudang dan Gerai Koperasi Merah Putih” mulai terpancang, para pekerja sibuk beraktivitas, dan bendera merah putih berkibar di halaman depan sebagai penanda visual dimulainya proyek ambisius ini.
Namun, di balik riuhnya pembangunan fisik tersebut, sebuah ironi tersembunyi. Persis di lokasi yang sama, banyak dari koperasi-koperasi ini justru tampak ‘mati suri’. Gedung boleh mulai berdiri, namun esensi dari koperasi itu sendiri belum hadir.
Tak ada aktivitas operasional, tak ada transaksi jual beli, rapat anggota yang menjadi pilar demokrasi koperasi tak kunjung digelar, dan yang terpenting, roda ekonomi yang diharapkan berputar untuk menyejahterakan anggota pun masih terhenti.
Pemandangan ini bukanlah anomali. Fenomena serupa jamak ditemui di banyak daerah lain, dari Bekasi hingga Yogyakarta.
Pemerintah memang tengah menggalakkan program besar: pembangunan 80.000 Gudang dan Gerai Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di seluruh nusantara. Dengan target penyelesaian keseluruhan pada Maret 2026, program ini sejatinya adalah upaya mulia untuk memperkuat ekonomi rakyat melalui infrastruktur koperasi yang modern dan merata.
Akan tetapi, infrastruktur fisik semata tidaklah cukup. Di banyak tempat, semangat gotong royong—yang seharusnya menjadi jiwa dan nafas utama koperasi—justru belum sepenuhnya hidup.
Gedung boleh berdiri megah, namun tanpa partisipasi aktif anggota, tanpa manajemen yang profesional, dan tanpa semangat kebersamaan, gudang dan gerai tersebut hanyalah bangunan kosong yang bisu, tanpa denyut kehidupan ekonomi. Ini menjadi pengingat bahwa membangun “rumah” koperasi harus berjalan beriringan dengan membangun “penghuni” di dalamnya.
Ketika Fisik Mendahului Manusia
Pemerintah pusat menegaskan, pembangunan koperasi desa merupakan bagian dari strategi nasional memperluas basis ekonomi rakyat. Instruksi Presiden tahun 2024 menargetkan setiap desa memiliki satu koperasi yang berfungsi sebagai pusat produksi, distribusi, dan pemasaran.
Namun di lapangan, pelaksanaannya menghadapi tantangan klasik: gedung selesai lebih dulu, sementara sumber daya manusia dan usaha belum terbentuk.“
Menanggapi fenomena pembangunan masif namun minim aktivitas tersebut, Sekretaris Jenderal PPM Nasional, Anwar Hariyono, memberikan kritik tajam. Ia menilai pendekatan pemerintah dalam program ini masih keliru dan berorientasi pada infrastruktur semata.
“Pendekatannya masih terlalu fisik,” ujar Anwar dalam keterangannya kepada ppmindonesia.
Ia menegaskan bahwa esensi dan jiwa koperasi yang sesungguhnya telah terabaikan dalam proses ini. “Padahal koperasi bukan proyek bangunan, tapi gerakan sosial,” tegasnya.
Anwar memperingatkan, tanpa ada fondasi sosial-ekonomi yang kuat, seluruh infrastruktur yang kini dibangun tidak akan memiliki nyawa dan berakhir sia-sia.
“Tanpa penguatan manusia dan pasar, koperasi hanya akan jadi gudang tanpa isi.”
Lebih lanjut, Anwar menyebut pola pikir ini adalah penyakit lama yang kembali terulang. Menurutnya, pemandangan ini adalah cerminan dari sejarah pembangunan di Indonesia yang kerap terjebak pada simbolisme.
“Pola seperti ini kerap berulang dalam sejarah pembangunan Indonesia,” katanya. “Infrastruktur dibangun sebagai simbol keberhasilan, tetapi fungsi sosial dan ekonomi di dalamnya belum berjalan.”
Gotong Royong yang Hilang
Spirit koperasi sejatinya lahir dari budaya gotong royong—dari semangat saling membantu, menabung bersama, dan berbagi keuntungan secara adil. Di masa lalu, banyak koperasi tumbuh organik dari kesadaran masyarakat, seperti koperasi susu di Pangalengan atau koperasi nelayan di Tegal yang tumbuh dari kebutuhan bersama.
Kini, di tengah gempuran proyek pembangunan, semangat itu mulai meredup. “Koperasi sekarang seperti program pemerintah, bukan gerakan masyarakat,” kata Ashari, pemerhati ekonomi rakyat PPM Nasional. “Padahal kekuatan koperasi bukan pada modal besar, tapi pada rasa percaya dan kerja sama antaranggotanya.”
Habib menilai, pembangunan koperasi seharusnya disertai dengan pendidikan anggota dan pelibatan aktif masyarakat. “Bangun gudang tidak cukup. Yang perlu dibangun adalah kesadaran kolektif,” ujarnya.
Menumbuhkan dari Bawah
Di tengah sorotan terhadap pembangunan fisik yang masif namun sunyi aktivitas, secercah harapan justru muncul dari bawah. Berbagai koperasi di penjuru negeri membuktikan bahwa roh sejati koperasi—semangat gotong royong—justru hidup subur ketika ia tumbuh secara organik, berakar dari inisiatif lokal dan menjawab potensi serta kebutuhan nyata di daerahnya.
Dua contoh berikut menjadi bukti nyata bagaimana pendekatan bottom-up ini bekerja.
Di Boyolali, Jawa Tengah, Koperasi Susu Sapi tidak lahir dari proyek pemerintah. Koperasi ini berawal dari kumpulan para peternak susu sapi perah di desa-desa. Mereka menyatukan tekad untuk mengelola hasil ternak mereka secara kolektif.
Para warga yang memiliki sapi perah mengumpulkan susu segar, yang kemudian dikelola dan disalurkan oleh koperasi secara terorganisir ke industri pengolahan susu. Mereka tidak menunggu instruksi atau bantuan besar; mereka bergerak mandiri.
Salah satu pengurus koperasi tersebut menuturkan prinsip mereka:
“Awalnya mulai dari kecil. Tidak menunggu bantuan, tapi bergerak dengan apa yang ada.”
Inisiatif serupa muncul di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Koperasi Peranserta Masyarakat (Kopermas) Sejahtera, yang dibentuk tahun ini, lahir murni dari keprihatinan kolektif warga.
Koperasi ini didirikan untuk menjawab satu masalah mendesak: sulitnya mendapatkan bahan pokok seperti beras dan minyak dengan harga yang murah dan terjangkau.
Seiring berjalannya waktu, gerakan yang berawal dari kebutuhan dapur ini mendapat kepercayaan yang lebih besar. Menurut Ketua Koperasi, Lalu Khalid Taemizi, Kopermas kini bahkan dipercaya untuk menjadi pemasok kebutuhan sayur-mayur untuk dapur program Makanan Bergizi Gratis (MBG).
Kritik dan Pembelajaran
Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM menyadari perlunya tahap pendampingan dan pemberdayaan setelah pembangunan fisik. “Gedung hanyalah awal. Tahap selanjutnya adalah pelatihan manajemen dan pendampingan usaha. Kami ingin koperasi benar-benar produktif,” ujar Deputi Bidang Kelembagaan Kemenkop UKM, Suroto,
Namun, sejumlah pengamat menilai, pembangunan yang terlalu seragam di seluruh Indonesia berpotensi mengabaikan konteks lokal. “Kebutuhan koperasi di daerah pertanian berbeda dengan di daerah pesisir. Kalau modelnya diseragamkan, sulit berkembang,” kata Anwar Hariyono
Ia menegaskan, kunci keberhasilan koperasi adalah fleksibilitas dan kepercayaan sosial. “Bangunan yang kokoh tidak menjamin koperasi kuat. Kekuatan koperasi ada pada manusianya, pada jalinan gotong royong yang hidup di dalamnya.”
Cactatan Redaksi
Koperasi adalah cermin dari semangat kolektif bangsa: saling bantu, saling percaya, dan tumbuh bersama. Membangun koperasi tidak bisa disamakan dengan membangun gedung sekolah atau jalan raya. Yang harus dibangun adalah kepercayaan, disiplin, dan kesadaran bersama.
Membangun gudang tanpa menghidupkan gotong royong hanya akan melahirkan tembok tanpa jiwa. Tetapi ketika masyarakat menjadi pelaku, bukan penonton, koperasi bisa menjadi mercusuar ekonomi rakyat — berdiri di atas fondasi yang paling kokoh: rasa saling percaya.



























