ppmindonesia.com. Jakarta – Banjir besar yang kembali menenggelamkan berbagai wilayah Sumatra dalam beberapa pekan terakhir menimbulkan pertanyaan yang terus menghantui warga: siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab? Apakah benar semua ini sekadar akibat hujan ekstrem, atau ada jejak panjang eksploitasi yang selama puluhan tahun dibiarkan merusak hulu dan hilir ekosistem?
Dari hutan gundul, tambang legal–ilegal, hingga sungai yang kini tinggal nama, rangkaian kerusakan itu saling bertaut dan kini berujung pada satu realitas pahit: warga menjadi korban dari keputusan ekonomi dan politik yang mereka tak pernah buat.
Hutan Gundul: Warisan Kerusakan yang Dimulai Sejak 1990-an
Di banyak kabupaten, warga masih menyimpan cerita tentang masa ketika bukit-bukit hijau menjaga aliran sungai tetap jernih. Hari ini, bukit yang sama berubah menjadi rangkaian tebing gersang berwarna coklat, penuh erosi dan jalur-jalur bekas alat berat.
Data komunitas pemantau hutan menunjukkan:
- Pengurangan tutupan hutan primer antara 50–70 persen dalam 30 tahun terakhir.
- Kawasan lindung yang seharusnya steril dari alat berat justru diisi puluhan konsesi perkebunan dan tambang.
- Banyak perusahaan yang membuka lahan pada 1990–2000-an kini sudah bubar, tetapi kerusakan yang mereka tinggalkan tetap berlangsung.
“Akar masalahnya bukan hujan,” tegas Ashari, aktivis ppmindonesia. “Akar masalahnya adalah keputusan-keputusan masa lalu yang menganggap hutan sebagai komoditas, bukan pelindung.”
Tambang: Legal, Ilegal, dan “Setengah Sah” yang Sama-Sama Merusak
Tambang menjadi aktor besar dalam cerita kerusakan Sumatra. Di beberapa daerah, tambang legal dan ilegal seperti dua wajah dari koin yang sama: sama-sama menggerus bukit, menghancurkan vegetasi, dan mempercepat laju sedimentasi.
Temuan lapangan komunitas PPM mengungkap:
- Sungai di wilayah terdampak banjir mengalami peningkatan sedimentasi hingga tiga kali lipat sejak 2005.
- Banyak tambang yang beroperasi tanpa reklamasi, meski kewajiban tersebut sudah melekat dalam izin.
- Di beberapa desa, warga melihat truk pengangkut hasil tambang beroperasi siang-malam bahkan saat hujan lebat.
“Tambang itu tidak pernah berhenti,” ujar Rina (38), warga tepi Sungai Batang.
“Yang berhenti hanya kami — berhenti sekolah, berhenti kerja, berhenti hidup normal — setiap kali banjir datang.”
Sungai yang Hilang Daya: Dari Jalur Hidup Menjadi Jalur Bencana
Dulu, sungai adalah pusat hidup masyarakat — sumber air, jalur perahu, ruang bermain anak-anak. Kini sungai berubah menjadi ancaman karena kombinasi deforestasi dan tambang telah mengubah karakter hidrologisnya. namun sungai-sungai di Sumatra mengalami:
- Penyempitan alur hingga 20–40 persen,
- Pendangkalan drastis akibat sedimen yang turun dari bukit gundul,
- Penurunan kapasitas tampung air, sehingga banjir terjadi lebih cepat.
“Ketika hutan hilang, sungai kehilangan penopang utamanya,” kata Dr. Heru. “Air yang dulu diserap akar kini turun langsung membawa lumpur, menghantam desa-desa di hilir.”
Banjir yang Disebut “Alam” Padahal Buatan Manusia
Meski data dan kenyataan lapangan menunjukkan pola kerusakan yang jelas, pemerintah kembali menggunakan narasi “bencana alam” sebagai penjelasan utama.
Pernyataan ini memicu kemarahan warga dan aktivis yang merasa penjelasan itu hanya mengalihkan perhatian dari kerusakan struktural yang sebenarnya.
Mardani (57), seorang petani yang sawahnya hilang tersapu banjir, berkata:
“Kalau ini bencana alam, kenapa baru sekarang separah ini? Alam tidak berubah. Yang berubah itu manusianya — manusianya yang rakus.”
Aktivis lingkungan menambahkan bahwa curah hujan hanyalah pemicu, bukan akar masalah. Tanah yang aus, hutan yang raib, dan sungai yang dangkal adalah bom waktu yang telah lama ditunggu-tunggu untuk meledak.
Lalu Siapa yang Bertanggung Jawab?
Ini pertanyaan yang sulit dijawab karena:
- Banyak pelaku perusakan — pejabat lama, pengusaha kayu, pemilik tambang — sudah meninggal atau tidak lagi tinggal di wilayah tersebut.
- Perusahaan-perusahaan yang dulu aktif telah berganti nama atau berganti pemilik, mengaburkan jejak tanggung jawab.
- Pemerintah daerah dan pusat saling lempar pernyataan, tanpa ada koordinasi pemulihan jangka panjang.
Namun warga di lapangan memiliki jawabannya sendiri:
“Tanggung jawab itu jatuh pada negara,” ujar Jufri.
“Karena negara yang mengeluarkan izin, negara yang mengawasi, dan negara yang membiarkan kerusakan berlangsung puluhan tahun.”
Pemulihan: Harus Dimulai Dari Hulu, Bukan Dari Panggung Konferensi Pers
Jika pemerintah ingin mengurangi banjir besar yang makin sering terjadi, komunitas lingkungan merekomendasikan:
- Moratorium tambang di hulu DAS,
- Rehabilitasi besar-besaran hutan gundul,
- Penegakan reklamasi tambang,
- Transparansi data izin dan pemilik lahan,
- Pelibatan masyarakat lokal sebagai penjaga hulu sungai.
“Banjir bisa surut dalam beberapa hari,” kata Ashari.
“Tetapi kerusakan ekosistem membutuhkan puluhan tahun untuk pulih — kalau kita memulai sekarang.”
Bencana Bukan Takdir, Tapi Keputusan
Banjir Sumatra bukan sekadar kisah air yang meluap. Ini adalah kisah tentang keputusan ekonomi yang tidak adil, tentang izin yang dikeluarkan tanpa kajian jangka panjang, dan tentang generasi yang dipaksa membayar utang ekologis yang bukan mereka buat.
Ketika hutan gundul, tambang meluas, dan sungai berubah menjadi jalur bencana, pertanyaan tentang tanggung jawab tidak lagi bisa ditunda.
Karena warga sudah terlalu sering menjadi korban, sementara keuntungan puluhan tahun lalu telah lama dibawa pergi.



























