Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Bukan Reboisasi: Konversi Hutan ke Sawit Percepat Banjir dan Kerusakan Lingkungan

26
×

Bukan Reboisasi: Konversi Hutan ke Sawit Percepat Banjir dan Kerusakan Lingkungan

Share this article

Penulis ; acank | Editor ; asyary |

ppmindonesia.com.Jakarta – Unggahan viral di platform X kembali memantik perhatian publik terhadap kerusakan hutan dan maraknya bencana ekologis yang terjadi di Sumatra. Dalam unggahannya, akun @dai****** menuliskan, “Sawit tidak bisa menggantikan hutan. Mengganti hutan dengan sawit bukan reboisasi. Itu deforestasi, hilangnya fungsi alam yang tak bisa digantikan. PRAY FOR SUMATERA.”

Pernyataan tersebut mengemuka di tengah meningkatnya frekuensi banjir besar dan tanah longsor yang melanda berbagai daerah. Di saat yang sama, ekspansi perkebunan kelapa sawit terus berjalan tanpa henti.

Produksi Sawit Melonjak, Hutan Kian Menyusut

Indonesia masih menjadi produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Data Foreign Agricultural Service – USDA 2024/2025 mencatat produksi minyak sawit nasional mencapai 46 juta ton, dua kali lipat dari produksi Malaysia.

Pada 2013–2019, produksi sawit Indonesia meningkat signifikan dari 28 juta ton menjadi 47 juta ton. Namun, laju pertumbuhan ini sejalan dengan berkurangnya tutupan hutan alam, terutama di Sumatra dan Kalimantan, yang merupakan ekosistem tropis terpenting dunia.

Alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit telah memicu degradasi lingkungan yang merata: dari kerusakan tanah, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga meningkatnya risiko bencana hidrometeorologi.

Ahli UGM: Kebun Sawit Tidak Bisa Menggantikan Fungsi Hutan

Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Fakultas Kehutanan UGM, Hatma Suryatmojo, menegaskan bahwa perkebunan sawit tidak memiliki kemampuan ekologis yang setara dengan hutan alami.

Meski sawit sering diklaim tetap membuat lahan hijau, tapi sesungguhnya sama sekali berbeda dengan hijaunya hutan,” ujar Hatma.

Menurut Hatma, hutan alam memiliki struktur vegetasi yang kompleks—tajuk berlapis, serasah tebal, dan tutupan lantai hutan yang rapat. Elemen-elemen ini menghasilkan kekasaran permukaan yang tinggi, penting untuk menahan energi hujan dan menjaga kestabilan tanah.

Kebun sawit itu homogen. Lantai kebun selalu dibersihkan untuk memudahkan panen, sehingga tidak memiliki kemampuan menahan air seperti hutan,” tambahnya.

Dampak Ekologis Konversi Hutan ke Sawit

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mengganti hutan dengan perkebunan sawit menimbulkan dampak jangka panjang yang serius, meliputi:

1. Kerusakan Tanah

  • Degradasi hara: Tanah yang terpapar sinar matahari langsung menjadi lebih kering dan miskin nutrisi.
  • Makropori hilang: Penggunaan alat berat dan pembersihan lahan menghilangkan pori-pori tanah penting sehingga mengurangi kapasitas infiltrasi.
  • Erosi meningkat: Tanpa akar pepohonan hutan yang kuat, tanah lebih mudah terbawa air dan menimbulkan sedimentasi di sungai.

2. Hilangnya Keanekaragaman Hayati

Hutan hujan tropis menyimpan 80–90 persen spesies dunia. Konversi hutan menghilangkan habitat satwa penting seperti orangutan, harimau Sumatra, gajah, dan burung endemik. Banyak spesies tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan monokultur sawit yang minim sumber makanan dan tempat berlindung.

3. Emisi Karbon dan Perubahan Iklim

Pembukaan hutan—terutama lahan gambut—melepaskan jutaan ton CO₂. Selain mempercepat perubahan iklim global, pelepasan karbon juga meningkatkan suhu lokal dan memperpanjang periode kekeringan.

4. Risiko Banjir dan Longsor

Hutan berfungsi sebagai penyerap dan pengatur air. Tajuk yang berlapis menahan air hujan, sementara struktur tanah hutan yang kaya makropori membuat air cepat meresap. Kebun sawit tidak memiliki kemampuan ini.

Di kebun sawit, serasahnya tipis, tanahnya padat, dan infiltrasi rendah. Hujan lebat akan langsung berubah menjadi limpasan permukaan,” kata Hatma.

Akibatnya, daerah hilir sungai menghadapi limpasan air lebih besar yang memicu banjir, longsor, dan sedimentasi.

5. Fragmentasi Habitat dan Polusi

  • Pembukaan lahan menciptakan petak-petak habitat terisolasi, menghambat pergerakan satwa liar.
  • Proses pembukaan kebun dengan pembakaran menyebabkan kabut asap.
  • Pupuk dan pestisida meningkatkan kadar nitrogen dan fosfor di sungai dan danau.

Pemulihan DAS: Harga Mati untuk Cegah Banjir

Menjawab pertanyaan mengenai upaya mencegah banjir dan longsor, Hatma menyatakan bahwa mempertahankan hutan alam yang tersisa adalah langkah utama.

Hutan tersisa harus dipertahankan. Itu harga mati,” tegasnya.

Ia menekankan pentingnya memulihkan fungsi lindung kawasan hulu DAS dengan mengembalikan tutupan hutan yang sesungguhnya, bukan sekadar vegetasi monokultur.

Hulu DAS harus dikembalikan pada fungsi lindungnya. Ini satu-satunya cara jangka panjang mengurangi risiko banjir dan longsor,” ujarnya.

Konversi hutan alam menjadi perkebunan sawit tidak dapat disebut reboisasi. Dari sisi hidrologi, tanah, biodiversitas, hingga iklim, fungsi hutan tidak tergantikan oleh tanaman industri monokultur. Di tengah meningkatnya kejadian banjir besar dan longsor di Sumatra, seruan untuk mempertahankan hutan alam kembali mengemuka.

Sawit memang penting bagi ekonomi, tetapi tanpa menjaga hutan yang tersisa, kerusakan ekologis yang muncul berpotensi jauh lebih mahal dari keuntungan yang diperoleh.

Example 120x600