ppmindonesia.com.Jakarta– Bencana banjir dan longsor yang beruntun di Sumatra kembali membuka luka lama tentang bagaimana manusia memperlakukan alam. Eksploitasi tambang, ekspansi kelapa sawit, dan pembabatan hutan terjadi dalam skala masif selama puluhan tahun — dan kini, masyarakatlah yang menanggung akibatnya.
Dalam perspektif Qur’an bil Qur’an, kerusakan ekologis ini bukan sekadar fenomena alam, tetapi bagian dari etika besar: hubungan manusia dengan bumi sebagai amanah dari Allah.
Manusia sebagai Khalifah: Amanah yang Mulai Diabaikan
Qur’an menegaskan bahwa manusia diberi mandat sebagai khalifah, bukan sebagai perusak.
Allah berfirman:
﴿ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا ﴾
“Dialah yang menjadikan kamu dari bumi dan meminta kamu untuk memakmurkannya.” (QS Hud 11:61)
Ayat ini menegaskan dua hal:
- Asal manusia dari bumi, sehingga relasi ekologis bersifat spiritual.
- Tugas manusia adalah memakmurkan, bukan mengekstraksi tanpa batas.
Ketika aktivitas tambang merusak struktur tanah, ketika perkebunan sawit menggantikan hutan primer, dan ketika sungai tercemar oleh limbah industri, maka amanah istikhlāf ini telah dilanggar.
Kerusakan Tidak Muncul Tanpa Sebab
Qur’an menjelaskan sebab-akibat ekologis secara tegas:
﴿ ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ ﴾
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia.” (QS Ar-Rum 30:41)
Ayat ini bukan metafor. Kerusakan ekologis yang dimaksud bersifat konkret: hilangnya tutupan hutan, tanah yang kehilangan daya serap, terjadinya erosi, sampai banjir yang semakin ekstrem.
Di Sumatra, korelasi antara eksploitasi alam dan bencana sangat terlihat:
- Penambangan batu bara dan nikel merusak struktur geologi.
- Konversi hutan menjadi sawit menghilangkan fungsi resapan air.
- Industri kayu serat menghabiskan hutan alam dalam waktu singkat.
Jika Qur’an menyebut sebab kerusakan adalah “bimā kasabat aydin-nās”, maka bencana bukan sekadar ujian—tetapi akibat langsung dari pilihan manusia.
Ketika Bumi Menolak Diperlakukan Semena-Mena
Qur’an menggambarkan bahwa bumi memiliki “reaksi” terhadap tindakan manusia.
Bukan hanya makhluk hidup, tetapi unsur alam pun “taat” dan “mengingat Allah”:
﴿ تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ﴾
“Langit tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada-Nya.” (QS Al-Isra 17:44)
Bila bumi bertasbih, maka merusaknya adalah bentuk penentangan terhadap keteraturan Ilahi itu sendiri.
Tambang yang menggali perut bumi tanpa kontrol, pembakaran hutan gambut, dan ekspansi sawit monokultur adalah tindakan yang mengabaikan tasbih ekologis ini. Alam yang rusak akan merespon balik. Ini sesuai dengan pola balasan Ilahi dalam Qur’an:
﴿ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ ﴾
“Tuhanmu tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.” (QS Fussilat 41:46)
Artinya, bencana ekologis tidak dikirimkan Allah sebagai kezaliman, tetapi sebagai konsekuensi sistem alam yang dirusak manusia.
Eksploitasi Energi: Ketika Nafsu Mengalahkan Pertimbangan Moral
Dalam banyak ayat, Qur’an mengingatkan tentang kerakusan manusia terhadap harta:
﴿ وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا ﴾
“Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS Al-Fajr 89:20)
Kerakusan ini tampak dalam:
- Izin tambang yang terus dilepas.
- Perluasan sawit meski hutan primer tinggal 13%.
- Pembalakan kayu serat yang menghabiskan hutan dalam 5–10 tahun.
Tidak ada ayat Qur’an yang membenarkan eksploitasi energi tanpa etika. Islam tidak anti tambang, tidak anti sawit. Tetapi Qur’an anti kezaliman ekologis.
Banjir dan Longsor: Bagian dari Sunatullah
Qur’an menjelaskan mekanisme sunatullah dalam bencana:
﴿ فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنۢبِهِ ﴾
“Maka masing-masing Kami azab karena dosa-dosanya.” (QS Al-Ankabut 29:40)
Dalam konteks ekologis modern, “dosa” ini berbentuk:
- Penggundulan hutan.
- Perusakan ekosistem tanah.
- Pengalihan fungsi daerah resapan.
Akibatnya adalah banjir yang meluas, longsor yang menghancurkan desa, dan jutaan orang yang kehilangan rumah.
Qur’an memandang bencana bukan sekadar teguran, tetapi mekanisme korektif alam ketika keseimbangan terganggu.
Etika Energi Islami: Jalan Keluar dari Krisis Ekologis
Qur’an mengajarkan pola konsumsi yang berkelanjutan:
﴿ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ ﴾
“Janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al-A’raf 7:31)
Ayat ini menjadi dasar bagi etika energi Islam:
- Produksi harus proporsional.
- Konsumsi harus bijak.
- Eksploitasi alam harus mempertimbangkan keseimbangan ekosistem.
Jika tambang dan sawit dibangun di atas prinsip israf (ekses), maka kerusakannya akan kembali kepada manusia sendiri.
Kembali pada Fitrah Ekologis Qur’an
Bencana ekologis yang terjadi di Indonesia bukan hanya isu teknis, tetapi isu spiritual.
Qur’an menawarkan dua pilihan:
- Mengikuti petunjuk, memakmurkan bumi.
- Mengikuti hawa nafsu, merusaknya.
Bila tambang, sawit, dan industri kayu serat dikelola tanpa etika Qur’ani, maka bencana hanya tinggal menunggu waktu.
Sebaliknya, jika manusia kembali pada prinsip isti‘mār—memakmurkan bumi—maka alam akan kembali pulih dan menjadi rahmat bagi generasi mendatang.



























