ppmindonesia.com.Jakarta – Bencana ekologis yang terus terjadi—banjir besar, longsor, krisis air, dan hilangnya keanekaragaman hayati—menjadi sinyal kuat bahwa manusia tengah mengkhianati amanah besarnya sebagai khalifah fil-ardh. Al-Qur’an, khususnya melalui QS Al-Baqarah ayat 30, memberikan perspektif mendasar tentang tanggung jawab manusia, sekaligus peringatan atas kelalaian kolektif yang kini kita lihat dalam krisis ekologi 2025.
Khalifah: Mandat, Bukan Status Kehormatan
Allah menetapkan manusia sebagai khalifah bukan sekadar gelar, tetapi tugas moral dan tanggung jawab ekologis.
Allah berfirman:
﴿ وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ﴾
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi’.”
(QS Al-Baqarah 2:30)
Dalam pendekatan Syahida, kata khalifah dipahami sebagai wakil yang menjalankan kehendak moral Allah, bukan penguasa yang bebas mengeksploitasi bumi. Amanah ini mencakup: menjaga keseimbangan, mencegah kerusakan, serta memastikan keberlanjutan kehidupan.
Namun bencana ekologis yang terjadi menunjukkan bahwa manusia telah berubah dari khalifah penjaga menjadi aktor kerusakan.
Ketika Khalifah Menjadi Perusak
Kerusakan alam yang meluas di Sumatra—deforestasi besar-besaran, tambang terbuka, ekspansi sawit, dan pembakaran hutan—menegaskan bahwa manusia meninggalkan mandatnya. Al-Qur’an mengingatkan:
﴿ ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ ﴾
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia.” (QS Ar-Rum 30:41)
Deforestasi Sumatra yang mencapai ratusan ribu hektare dalam dua dekade terakhir menyebabkan hilangnya fungsi resapan, meningkatnya suhu lokal, menurunnya kualitas tanah, serta runtuhnya ekosistem yang menopang kehidupan masyarakat. Ayat ini menjelaskan bahwa kerusakan bukan “cobaan semata”, tetapi akibat langsung dari tindakan manusia.
Amanah Dijaga dengan Keadilan, Bukan Eksploitasi
Allah menegaskan bahwa perintah menjadi khalifah berkaitan erat dengan keadilan.
Al-Qur’an berulang kali menekankan:
﴿ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ﴾
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS Al-A’raf 7:56)
Dalam konteks ekologis, kerusakan yang dimaksud mencakup: perusakan hutan dan sumber air, eksploitasi tambang yang menghancurkan struktur tanah, pencemaran sungai oleh limbah industri, monokultur sawit yang memiskinkan biodiversitas, pembangunan tanpa analisis daya dukung lingkungan.
Semua ini adalah bentuk fasad (kerusakan) yang dilarang oleh Allah, sekaligus bentuk pelanggaran amanah kekhalifahan.
Banjir dan Longsor 2025: SinyaI Kegagalan Etika Kekhalifahan
Banjir dan longsor besar di Sumatra bukanlah peristiwa alam murni. Kajian ekologis menunjukkan bahwa daerah yang mengalami kerusakan ekologis lebih parah merasakan dampaknya.
Dalam tafsir Syahida, fakta kausalitas ekologis ini justru sejalan dengan pola Qur’an:
Allah memperingatkan bahwa ketika manusia merusak bumi, maka bumi akan membalas dalam bentuk ketidakseimbangan.
Allah berfirman:
﴿ وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ ﴾
“Apa pun bencana yang menimpa kamu adalah akibat perbuatan tanganmu sendiri.” (QS Asy-Syura 42:30)
Ini bukan hukuman semata, tetapi mekanisme alam yang telah diciptakan Allah—sunatullah yang berlaku universal.
Khalifah Sejati Menjaga Keseimbangan Ekologis
Amanah kekhalifahan tidak dapat dijalankan tanpa menjaga mīzān (keseimbangan).
Allah berfirman:
﴿ وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ ۞ أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ ﴾
“Dan langit telah Dia tinggikan dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu tidak melampaui batas terhadap keseimbangan itu.” (QS Ar-Rahman 55:7–8)
Eksploitasi tambang, deforestasi, dan konversi hutan menjadi sawit adalah bentuk ṭughyān—melampaui batas-batas ekologis yang ditetapkan Allah.
Saat batas dilanggar, keseimbangan hilang. Dan ketika keseimbangan hilang, bencana muncul.
Tanggung Jawab Kolektif: Negara, Industri, dan Individu
Menjadi khalifah berarti bertanggung jawab secara kolektif:
- Negara wajib mencegah kerusakan, bukan justru memberikan izin yang melemahkan ekosistem.
- Industri wajib mematuhi etika ekologis, bukan mengekstraksi alam tanpa batas.
- Individu wajib membangun kesadaran, mengurangi jejak ekologis, dan menuntut kebijakan yang berkelanjutan.
Al-Qur’an menjamin bahwa manusia dapat memperbaiki keadaan jika mau kembali pada nilai amanah:
﴿ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ ﴾
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”(QS Ar-Ra’d 13:11)
Saatnya Kembali Menjalankan Tugas Kekhalifahan
Krisis ekologi 2025 adalah cermin bahwa manusia telah menjauh dari mandat Al-Baqarah 30.
Kita bukan penguasa bumi, tetapi pemegang amanah. Dan amanah itu menuntut: menjaga, menyeimbangkan, memelihara, dan tidak melakukan kerusakan.
Bumi tidak marah. Bumi hanya menunjukkan realitas dari apa yang manusia lakukan.
Saatnya kembali menjadi khalifah yang bertanggung jawab, bukan khalifah yang lalai.



























