Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Isra’ Mi’raj dan Pertanyaan Seputar Makna “Asraa” dalam Al-Quran

118
×

Isra’ Mi’raj dan Pertanyaan Seputar Makna “Asraa” dalam Al-Quran

Share this article
Example 468x60

ppmindonesia.com, JakartaIsra’ Mi’raj adalah peristiwa besar dalam sejarah Islam yang diperingati umat Islam di banyak tempat, terutama di Indonesia. Acara peringatannya sangat populer, bahkan sejak usia dini anak-anak pun sudah mengenal kisah ini. Di sisi lain, perayaan ini tidak diterima secara universal di kalangan Muslim dunia. Di Arab Saudi, misalnya, peringatan Isra’ Mi’raj pernah mendapat teguran dari otoritas setempat, sehingga beberapa orang Indonesia pernah dikabarkan ditangkap karena mengadakannya.

Namun, di balik perayaan tersebut, ada sejumlah pertanyaan terkait pemahaman dan dasar dari Isra’ Mi’raj, khususnya yang berlandaskan ayat dalam Surah Al-Isra’ (17:1). Sejumlah pertanyaan yang sering muncul antara lain:

  1. Apakah benar kisah Isra’ Mi’raj berlandaskan pada Al-Quran Surah Al-Isra’ (17:1)?
  2. Apakah benar shalat diperoleh dalam peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut?
  3. Benarkah Isra’ Mi’raj bertujuan untuk menemui Allah di Sidratul Muntaha, yang mengesankan seolah Allah hanya berada di sana?

Mari kita telaah lebih jauh.

1.Memahami Makna “Asraa” dalam Surah Al-Isra’ (17:1)

Surah Al-Isra’ ayat 1 berbunyi: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.”

Dalam ayat ini, kata “asraa” yang sering diterjemahkan sebagai “memperjalankan” diperdebatkan maknanya. Terdapat pendapat bahwa istilah ini tidak berasal dari kata “sara – yasiru – isra’an,” yang bermakna “berjalan” atau “mempertahankan perjalanan”. Kata ini memiliki kemiripan dengan kata yang digunakan dalam Surah Al-Anfal (8:67-70), yang diterjemahkan sebagai “tawanan”. Berdasarkan konteks dan pengulangan istilah ini dalam Al-Quran, sebagian pandangan menyarankan bahwa “asraa” di sini lebih tepat diartikan sebagai “tawanan”.

Jika makna “asraa” tetap dipahami sebagai “tawanan,” maka ayat ini berbicara tentang hamba Allah yang bertahan dalam pengabdian di malam hari, yang melakukan perjalanan spiritual atau penghambaan dari satu tingkatan ke tingkatan yang lebih tinggi (dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa) untuk memahami tanda-tanda kebesaran-Nya.

2. Posisi Strategis dari Perjalanan Spiritual

Dalam konteks ini, jika makna ayat tidak diarahkan ke kisah Isra’ Mi’raj tetapi pada perjalanan spiritual yang dimaksudkan agar manusia dapat melihat ayat-ayat Allah, maka ayat tersebut bisa dipahami sebagai pedoman bagi siapa pun yang berupaya mencari hikmah dan petunjuk dalam menjalani hidup. Ujung ayat yang berbunyi “agar Kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami” memberi kesan bahwa tindakan ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi langkah yang membawa seseorang untuk menyaksikan dan memahami ayat-ayat Allah.

Maka, siapa yang diberikan kesempatan tersebut? Orang yang terus bergerak dalam pengabdian kepada Allah, yang mencari pemahaman hakiki, diumpamakan bergerak dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa, yaitu tempat yang diberkahi dengan hikmah dan pengajaran di sekitarnya.

Dalam hal ini, Masjidil Haram dapat dipahami sebagai “al-haqqu min rabbika” (yang hak dari Tuhanmu), dan Masjidil Aqsa sebagai sesuatu yang berada di ujung capaian pandangan (di ufuk). Ayat ini seakan mengisyaratkan perjalanan spiritual yang mengajak manusia memahami kehidupan dan tanda-tanda Allah dalam segala hal di sekelilingnya.

3. Pengaruh Perubahan Makna “Asraa” terhadap Makna Ayat

Jika benar ada perubahan makna “asraa” menjadi “isra’” dengan arti “memperjalankan,” ada dugaan bahwa hal ini disengaja untuk menggiring pemahaman yang berbeda. Seandainya “asraa” dipahami sebagai “tawanan,” maka ayat ini menunjukkan tahapan spiritual bagi seseorang yang mengabdi dalam ketaatan di malam hari, bergerak dari yang hak (Masjidil Haram) untuk mencapai pemahaman hingga ke ujung pandangannya (Masjidil Aqsa).

Melalui proses ini, seseorang akan melihat ayat-ayat Allah, yang pada gilirannya bisa melahirkan para Ulil Albab dan Ulil Abshar – orang-orang yang bijaksana dan mampu melihat tanda-tanda Allah dengan pemahaman mendalam. Potensi kecerdasan dan kematangan spiritual ini sangat bernilai untuk kemajuan masyarakat, karena mereka mampu memahami kehidupan dengan cara yang lebih luas dan mendalam.

4.Shalat dan Tawaran Jumlah Waktu Shalat

Dalam kisah Isra’ Mi’raj disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW menerima perintah shalat lima waktu setelah terjadi proses tawar-menawar. Dalam Al-Quran, pernyataan seperti ini justru bertentangan dengan ketegasan bahwa ketetapan Allah tidak berubah (Qur’an 33:36-38). Bahkan, hal ini berpotensi dianggap menghina ketetapan ilahi yang sifatnya mutlak.

Di sisi lain, shalat telah dikenal oleh makhluk-makhluk lain dan bukan hanya manusia. Burung-burung, langit, dan bumi pun disebut mengetahui “shalat dan tasbih” mereka sendiri (Qur’an 24:41). Oleh karena itu, pemahaman shalat dalam Islam adalah sebuah bentuk ibadah yang bermakna mencegah dari fahsya dan munkar (Qur’an 29:45), sebuah upaya yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat dengan mencegah keburukan dan membawa kedamaian (Qur’an 9:103).

Kesimpulan

Makna ayat-ayat Al-Quran sangat kaya dan sering kali bersifat metaforis atau kinayah. Surah Al-Isra’ (17:1) mungkin lebih tepat dipahami sebagai penggambaran perjalanan spiritual menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang ayat-ayat Allah, yang memunculkan kecerdasan dan hikmah bagi individu dan masyarakat. Dengan pandangan ini, peran shalat dalam Islam sebagai pencegah keburukan lebih ditekankan pada dampaknya dalam kehidupan sosial dan spiritual umat.

Jika pemahaman ini lebih digali, maka kesalahan dalam kisah Isra’ Mi’raj yang penuh dengan tawar-menawar jumlah waktu shalat akan terlihat sebagai kekeliruan. Ayat-ayat Al-Quran seharusnya mendorong umat untuk memandang kehidupan dengan penuh kebijaksanaan, dan tafsir yang tepat atas ayat-ayat ini adalah jalan menuju kemajuan dan kesejahteraan umum umat manusia.(husni fahro)

 

Example 120x600