ppmindonesia.com, Jakarta– Frasa “lastum ‘alaa syai-in” yang berarti “kamu belum memiliki apa-apa” adalah pernyataan mendalam yang menyentuh esensi dari nilai dan tujuan hidup manusia. Secara alami, manusia memiliki keinginan untuk hidup bermakna, meraih prestasi, dan mendapatkan penghargaan. Upaya mencapai kehidupan yang bermakna inilah yang mendorong mereka untuk menjaga diri dari perbuatan tercela dan bahkan meningkatkan usaha spiritual, seperti menjalankan shalat tahajjud di malam hari. Hal ini menunjukkan keinginan untuk mengukuhkan harapan dan nilai di hadapan Allah SWT.
Namun, dalam Al-Qur’an, khususnya dalam Surah Al-Ma’idah ayat 68, Allah menegaskan kepada Ahlul Kitab bahwa mereka belum memiliki nilai atau makna apapun dalam kehidupan sebelum menegakkan Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Makna “lastum ‘alaa syai-in” dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa nilai seorang manusia tidak diukur semata-mata dari keinginan dan usaha pribadi, melainkan dari kesetiaan pada wahyu Allah yang membawa pedoman hidup.
Walaupun ayat ini secara langsung ditujukan kepada Ahlul Kitab (kaum Yahudi dan Nasrani) untuk menegakkan ajaran kitab mereka, pesan ini juga merupakan bagian dari Al-Qur’an yang berlaku untuk seluruh manusia, termasuk umat Nabi Muhammad. Al-Qur’an bukanlah sekadar catatan sejarah atau cerita orang terdahulu yang tidak relevan bagi kehidupan sekarang, sebagaimana yang sering disalahpahami oleh mereka yang menolak kerasulan Nabi Muhammad. Seperti yang dijelaskan dalam QS 16:24, QS 6:25, QS 8:31, QS 25:5, dan QS 68:15, banyak yang menganggap wahyu sebagai cerita masa lalu, tetapi pandangan semacam ini justru mengerdilkan posisi Al-Qur’an sebagai pedoman hidup universal.
Pesan di balik “lastum ‘alaa syai-in” juga berlaku bagi umat Islam: tidak ada nilai dalam kehidupan sebelum ajaran Al-Qur’an ditegakkan. Sama seperti Ahlul Kitab yang diingatkan untuk menegakkan Taurat dan Injil, umat Nabi Muhammad juga harus menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar dari seluruh aspek kehidupan untuk memperoleh keberkahan dan nilai yang sejati. Allah SWT menegaskan bahwa wahyu yang dibawa setiap Rasul adalah pedoman yang menyeluruh dan sama dalam menuntun manusia kepada jalan kebenaran (QS 4:163-165).
Oleh karena itu, frasa “lastum ‘alaa syai-in” menjadi peringatan bagi umat bahwa tanpa penegakan wahyu, baik Taurat, Injil, maupun Al-Qur’an, seseorang belum memiliki nilai hakiki. Makna “lastum ‘alaa syai-in” ini bukan hanya mengacu pada kewajiban formal untuk mematuhi perintah, tetapi juga menekankan pentingnya menanamkan ajaran wahyu dalam segala aspek kehidupan. Hanya dengan demikian, manusia dapat mencapai makna sejati dan prestasi yang diakui di sisi Allah SWT.
Jadi, penegakan wahyu dalam kehidupan adalah syarat untuk memperoleh nilai yang hakiki di sisi Allah. Jika Al-Qur’an belum ditegakkan dalam kehidupan, maka umat ini pun belum memiliki apa-apa.(husni fahro)