Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Antara Umat dan Bangsa: Menemukan Kembali Jiwa Islam Universal

88
×

Antara Umat dan Bangsa: Menemukan Kembali Jiwa Islam Universal

Share this article

Penulis: syahida | Editor; asyary

Islam datang untuk menyatukan manusia dalam nilai ketuhanan dan keadilan, bukan untuk menegakkan batas-batas identitas sempit (Ilustrasi.doc.ppm)

ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah dunia yang makin terpecah oleh sekat nasionalisme, sektarianisme, dan ideologi, umat Islam sering lupa bahwa Al-Qur’an datang membawa pesan kemanusiaan universal.
Kata umat dalam Al-Qur’an tidak merujuk pada golongan sempit, tetapi komunitas nilai yang tunduk kepada kebenaran Ilahi.

وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
“Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.”— (QS Al-Anbiyā’ [21]:92)

Ayat ini mengingatkan bahwa identitas utama manusia bukanlah bangsa atau suku, tetapi ketundukan kepada Allah. Persatuan umat tidak dibangun atas dasar darah atau teritori, tetapi atas dasar nilai, iman, dan kesadaran moral.

Umat sebagai Komunitas Nilai, Bukan Suku atau Bangsa

Dalam Al-Qur’an, istilah “umat” muncul dalam berbagai konteks: dari umat para nabi hingga umat manusia secara keseluruhan.
Misalnya, tentang Nabi Ibrahim:

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah umat yang tunduk patuh kepada Allah, hanif, dan tidak termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” — (QS An-Naḥl [16]:120)

Kata “ummatan” di sini menggambarkan Ibrahim sebagai figur universal — satu manusia yang memancarkan nilai-nilai kebenaran bagi seluruh umat.
Ini menandakan bahwa umat bukan hanya kumpulan manusia, tetapi satu kesatuan moral dan spiritual.

Bangsa dalam Kerangka Ketuhanan

Al-Qur’an tidak menolak keberagaman bangsa dan suku, namun menempatkannya sebagai alat saling mengenal (ta‘āruf), bukan alat superioritas. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” — (QS Al-Ḥujurāt [49]:13)

Bangsa adalah realitas sosial yang diciptakan Allah, bukan musuh dari keimanan. Namun ketika nasionalisme berubah menjadi egoisme kolektif yang memisahkan manusia dari nilai ilahiah, jiwa Islam universal pun memudar.

Dari Umat Spiritual ke Negara Politik

Sejarah Islam menunjukkan bagaimana umat yang dahulu dibangun atas dasar wahyu, kini sering terjebak dalam formalisme politik.
Konsep ummah yang menekankan persaudaraan spiritual bergeser menjadi identitas politik keagamaan.
Padahal Al-Qur’an menegaskan:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.”
— (QS Al-Ḥujurāt [49]:10)

Kata ikhwah di sini menunjukkan ikatan batin, bukan sekadar kesamaan label.
Umat Qur’ani tidak dibangun di atas sekat ideologi atau mazhab, tetapi kesamaan orientasi menuju kebenaran dan keadilan.

Menemukan Kembali Jiwa Islam Universal

Jiwa Islam sejatinya adalah tauhid dalam realitas sosial — mengakui bahwa seluruh manusia berasal dari satu sumber dan akan kembali kepada satu Tuhan.

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ ۝ وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Semua yang ada di bumi akan binasa, dan yang kekal hanyalah wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.” — (QS Ar-Raḥmān [55]:26–27)

Ketika manusia sadar bahwa semua kemuliaan hanya milik Allah, maka perbedaan bangsa dan kelompok akan hilang nilainya di hadapan kebenaran.
Inilah esensi Islam yang melampaui batas-batas geografis dan politik — Islam yang hidup dalam cinta, keadilan, dan kemanusiaan.

Umat Qur’ani: Membangun Kesadaran Global

Maka tugas umat Islam hari ini adalah menghidupkan kembali jiwa Qur’ani universal: menjadikan iman bukan sekadar identitas, tetapi gerak sosial yang menebar rahmat bagi semesta.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” — (QS Al-Anbiyā’ [21]:107)

Ayat ini adalah puncak konsep Islam universal: rahmat, bukan dominasi; kemanusiaan, bukan sektarianisme.

Dari Umat Menuju Insan Universal

Islam tidak datang untuk membangun “umat tertutup”, tetapi umat terbuka yang menjadi saksi kebenaran bagi seluruh manusia.

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
“Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang pertengahan agar kamu menjadi saksi atas manusia.” — (QS Al-Baqarah [2]:143)

Menjadi ummatan wasathan berarti hadir sebagai jembatan — bukan pemisah — antara manusia dan nilai-nilai ketuhanan.
Dari sinilah jiwa Islam universal kembali hidup: ketika umat menjadi cermin bagi keadilan, kasih, dan kesadaran ilahi di tengah kehidupan bangsa-bangsa.

“Islam bukan identitas eksklusif, tetapi kesadaran universal akan satu Tuhan dan satu kemanusiaan.”
“Bangsa boleh beragam, tetapi nilai kebenaran tetap satu — yaitu keadilan dan ketundukan kepada Allah.”

Syahida – merupakan  telaah al quran dengan menggunakan metode “tafsir qur’an bil ayatil qur’an artinya menguraikan al qur’an dengan merujuk apada ayat ayat alquran..
Example 120x600