ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam kesibukan modern, shalat sering direduksi menjadi rutinitas, bukan lagi ruang kesadaran spiritual. Namun jika kita membaca Al-Qur’an dengan pendekatan Qur’an bil Qur’an, makna “shalat” tidak terbatas pada ritual gerak tubuh, melainkan pada dimensi kesadaran, komunikasi, dan penyucian jiwa (tazkiyah).
Shalat bukan sekadar perintah, tetapi proses menghadirkan kesadaran akan Allah (dzikrullah) dalam seluruh laku kehidupan.
Shalat Sebagai Ikatan dengan Tuhan
Dalam Al-Qur’an, shalat disebut sebagai penghubung (ṣilah) antara manusia dan Allah.
Allah berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.”
— (QS Al-‘Ankabūt [29]:45)
Ayat ini menegaskan bahwa shalat bukan hanya aktivitas jasmani, melainkan sarana transformatif yang menahan manusia dari keburukan. Jika shalat tidak mencegah kejahatan, maka esensinya belum hadir dalam diri pelakunya.
Shalat juga merupakan puncak dzikir, sebagaimana firman Allah dalam ayat yang sama:
وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ
“Dan sesungguhnya mengingat Allah (dzikrullah) itu lebih besar (nilainya).”
Maka, shalat sejatinya adalah bentuk tertinggi dari dzikrullah, bukan sekadar membaca bacaan tertentu, tetapi menghadirkan Allah dalam kesadaran diri yang paling jernih.
Tasbih: Irama Kosmik Kehidupan
Selain shalat, Al-Qur’an juga memperkenalkan konsep tasbih — bukan hanya sebagai ucapan “subhānallāh”, tetapi sebagai getaran eksistensial seluruh alam.
Allah berfirman:
يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan di bumi.”— (QS Al-Jumu‘ah [62]:1)
Di sini, tasbih bukan lagi sekadar aktivitas manusia, tetapi bahasa alam semesta. Semua ciptaan tunduk dan bergetar dalam harmoni ketuhanan.
Dalam Surah An-Nūr [24]:41, bahkan burung-burung pun disebut bertasbih dalam kesadarannya masing-masing:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالطَّيْرُ صَافَّاتٍ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ
“Tidakkah engkau tahu bahwa kepada Allah bertasbih apa yang di langit dan di bumi serta burung-burung yang mengembangkan sayapnya? Masing-masing telah mengetahui cara shalat dan tasbihnya.”
Ayat ini menegaskan bahwa shalat dan tasbih adalah dua ekspresi dari satu kesadaran: kesadaran eksistensial terhadap Sang Pencipta.
Dari Gerak Menuju Makna: Ibadah Sebagai Kesadaran
Jika seluruh alam bertasbih dan memiliki bentuk “shalat”-nya sendiri, maka hakikat shalat manusia adalah kesadaran hidup selaras dengan kehendak Allah.
Dalam QS Ṭāhā [20]:14 Allah berfirman:
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.”
Tujuan shalat disebut secara eksplisit: “li dzikrī” — untuk mengingat-Ku.
Inilah inti ibadah dalam Islam — mengembalikan kesadaran manusia kepada sumbernya, agar segala tindakan menjadi ibadah, bukan hanya ritual.
Krisis Ibadah di Tengah Formalisme
Banyak umat yang tekun melaksanakan shalat, tetapi tidak tersambung dengan nilai moral dan kesadaran ilahiah yang menjadi tujuannya.
Shalat menjadi gerakan mekanik, tasbih menjadi repetisi kosong. Padahal, ibadah sejati adalah pembentukan kesadaran etis.
Seorang mukmin yang sadar akan makna shalat akan otomatis menolak kezaliman, menegakkan keadilan, dan hidup dalam ketundukan sejati — inilah makna ihsan, yaitu beribadah “seolah-olah melihat Allah.”
Tasbih sebagai Kesadaran Sosial
Menariknya, Al-Qur’an juga menautkan tasbih dengan tanggung jawab sosial. Dalam QS Al-A‘lā [87]:14-15, Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri, dan mengingat nama Tuhannya lalu dia shalat.”
Tasbih (penyucian diri) dan shalat (penghadiran kesadaran) tidak bisa dipisahkan dari tazkiyah — upaya nyata membangun jiwa dan masyarakat yang bersih dari ketidakadilan.
Artinya, shalat tanpa kesadaran sosial hanyalah kulit, bukan inti ibadah.
Menemukan Kembali Ibadah yang Hidup
Dalam pandangan Qur’an bil Qur’an, shalat, tasbih, dan dzikir bukan tiga hal terpisah, melainkan tiga lapisan dari satu kesadaran: kesadaran akan kehadiran Allah dalam seluruh aspek hidup.
وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ
“Bersujudlah dan mendekatlah (kepada Allah).” — (QS Al-‘Alaq [96]:19)
Ibadah sejati bukan sekadar tunduk di atas sajadah, tetapi perjalanan menuju kedekatan eksistensial dengan Sang Pencipta — dari gerak menuju makna, dari ritual menuju kesadaran.
“Shalat adalah kesadaran, bukan kebiasaan. Ia mengubah jiwa, bukan hanya menggerakkan tubuh.”
“Setiap makhluk bertasbih — artinya seluruh alam hidup dalam kesadaran ilahiah yang sama.” (syahida)Syahida – merupakan telaah al quran dengan menggunakan metode “tafsir qur’an bil ayatil qur’an artinya menguraikan al qur’an dengan merujuk apada ayat ayat alquran..



























