Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Air untuk Rakyat, Bukan untuk Dijual: Menagih Peran Negara di Balik Botol AMDK

80
×

Air untuk Rakyat, Bukan untuk Dijual: Menagih Peran Negara di Balik Botol AMDK

Share this article

Penulis ; acank | Editor ; asyary |

ppmindonesia.com. — Air adalah sumber kehidupan. Namun di negeri yang dikenal kaya air ini, jutaan rakyat justru harus membeli air bersih dalam kemasan botol. Di tengah limpahan sumber daya alam, ironi itu kian terasa ketika bisnis air minum dalam kemasan (AMDK) tumbuh pesat, sementara akses masyarakat terhadap air layak masih tertinggal.

Dari Sungai ke Botol Plastik

Indonesia termasuk pasar AMDK terbesar di Asia Tenggara. Berdasarkan data Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), konsumsi AMDK nasional mencapai lebih dari 30 miliar liter per tahun. Hampir setiap sudut kota dan desa kini mengenal air botolan sebagai kebutuhan sehari-hari—baik karena kepraktisan, maupun karena kualitas air tanah dan air pipa yang kian menurun.

Padahal, sumber air yang diambil oleh perusahaan AMDK sebagian besar berasal dari mata air milik publik. Negara memberikan izin pengambilan air tanah atau air permukaan kepada swasta dengan tarif relatif rendah, sementara masyarakat sekitar sering kali tak lagi leluasa memanfaatkannya.

Di beberapa daerah seperti Sukabumi, Klaten, dan Pasuruan, warga mengeluhkan berkurangnya debit air sumur setelah adanya aktivitas pengambilan air oleh perusahaan besar. “Kami merasa seperti tamu di tanah sendiri. Air diambil dari sini, tapi kami yang kekeringan,” kata Juhari, warga Kecamatan Polanharjo, Klaten, kepada Kompas.

Air Jadi Komoditas, Rakyat Jadi Konsumen

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana air telah bergeser dari hak dasar menjadi komoditas ekonomi. Negara, yang seharusnya berperan sebagai pengelola dan pelindung sumber daya air, justru tampak lebih sebagai pemberi izin bagi pelaku usaha.

Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Indonesia, Prof. Emil Salim, menilai kebijakan air di Indonesia telah “terlalu ramah terhadap korporasi”.

“Air bukan sekadar barang ekonomi. Ia adalah hak hidup. Ketika izin eksploitasi air diberikan tanpa batas ke swasta, negara sedang menggadaikan masa depan rakyatnya,” ujarnya.

Ironi ini semakin terasa di perkotaan. Di Jakarta, harga air kemasan bisa mencapai Rp5.000 per liter, jauh di atas tarif PDAM yang rata-rata hanya Rp15 per liter. Namun, karena distribusi air pipa tak merata dan kualitasnya kerap dipertanyakan, masyarakat tak punya pilihan selain membeli air botolan.

Negara dan Amanat Konstitusi

Konstitusi Indonesia telah memberikan dasar yang jelas: “Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Amanat ini semestinya menegaskan bahwa penguasaan negara berarti kendali penuh atas pemanfaatan sumber daya air, bukan sekadar regulasi administratif.

Namun, penguasaan itu seolah menyusut menjadi pengawasan simbolik. Pemerintah kerap beralasan bahwa keterlibatan swasta diperlukan untuk memenuhi kebutuhan investasi dan teknologi. Padahal, pendekatan ini sering kali melahirkan ketimpangan baru: keuntungan mengalir ke korporasi, sementara beban lingkungan dan sosial ditanggung rakyat.

Alternatif: Mengembalikan Air ke Rakyat

Sejumlah daerah mulai melakukan perlawanan halus terhadap privatisasi air. Di Klaten dan Bali, muncul gerakan masyarakat untuk mengelola sumber air secara kolektif melalui koperasi air. Model ini memungkinkan warga mengatur distribusi air secara adil, menjaga kelestarian sumbernya, dan menekan harga tanpa bergantung pada korporasi besar.

Aktivis lingkungan dari PPM Indonesia, Muhammad Reza, menegaskan bahwa masa depan pengelolaan air harus berbasis kedaulatan rakyat.

“Kita perlu membalik logika: bukan air yang dijual ke rakyat, tapi rakyat yang berdaulat atas air. Negara wajib hadir, bukan sebagai penonton, melainkan pelindung,” ujarnya.

Air bukan sekadar cairan dalam botol plastik. Ia adalah hak hidup yang dijamin konstitusi. Saat rakyat harus membeli air yang seharusnya menjadi milik mereka sendiri, maka negara perlu bercermin: di manakah peran penguasa dalam melindungi sumber kehidupan?

Mengembalikan air ke tangan rakyat bukan berarti menolak industri, melainkan menegaskan kembali prinsip keadilan ekologis—bahwa air untuk semua, bukan untuk dijual. (acank)

Example 120x600