Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Ilmu, Iman, dan Iqra’: Menyatukan Kembali Akal dan Wahyu

79
×

Ilmu, Iman, dan Iqra’: Menyatukan Kembali Akal dan Wahyu

Share this article

Kajian Syahida – Qur’an bil Qur’an| Oleh: Syahida

Ilustrasi, seseorang membaca Qur’an dengan latar perpustakaan

ppmindonesia.com.Jakarta – Seruan “Iqra’” dalam Al-Qur’an bukan sekadar perintah membaca teks, tetapi menegakkan kesadaran intelektual yang terhubung langsung dengan iman. Di tengah krisis literasi, polarisasi pemikiran, dan menurunnya tradisi penelitian dalam dunia Muslim, Al-Qur’an menghadirkan pesan tegas: ilmu dan iman tidak boleh dipisahkan, dan penggunaan akal bukan opsi—melainkan perintah Ilahi.

Ayat Pembuka: Iqra’ sebagai Revolusi Kesadaran

Allah berfirman:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1)
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS Al-‘Alaq 96:1)

Ayat pertama ini menggabungkan dua poros: aktivitas intelektual (iqra’) dan kesadaran spiritual (bismi rabbik). Dalam kajian Syahida, dua kata ini menunjukkan bahwa ilmu tidak bebas nilai—tetapi perilaku manusia berlandaskan kesadaran akan Sang Pencipta yang mengatur keteraturan kosmos.

Ilmu Tanpa Iman: Kekosongan Etika

Al-Qur’an memberi peringatan terhadap orang yang berilmu tetapi tidak beriman pada kebenaran:

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Mereka hanya mengetahui yang lahir dari kehidupan dunia.” (QS Ar-Rum 30:7)

Kajian syahida menunjukkan bahwa ayat ini mengkritik fenomena keilmuan yang terlepas dari etika. Ilmu duniawi yang lepas dari orientasi moral akan melahirkan ketakutan, persaingan destruktif, dan sistem sosial yang timpang. Fenomena ini nyata dalam industrialisasi, perang, penjajahan, dan eksploitasi alam atas nama kemajuan.

Iman Tanpa Ilmu: Dogmatisme yang Membutakan

Iman dalam Al-Qur’an bukan tunduk buta, melainkan hasil dari pemahaman dan penyaksian atas tanda-tanda Allah.

Allah mengingatkan:

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berakal.” (QS Ar-Ra’d 13:4)

Iman yang tidak melibatkan akal akan terjerumus ke dalam taklid, pengulangan tradisi tanpa penyelidikan. Syahida menekankan bahwa keimanan Qur’ani menuntut tahqiq—verifikasi—melalui proses intelektual yang hidup, bukan sekadar penerimaan turun-temurun.

Harmoni Akal dan Wahyu dalam Struktur Qur’ani

Qur’an secara konsisten memanggil manusia untuk berpikir (yatafakkarun), memahami (yafqahun), menalar (ya’qilun), menganalisis (yanzhurun), dan menyimpulkan (yastambithun).

Antara lain:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ
“Maka tidakkah mereka mentadabburi al-Qur’an?” (QS An-Nisa’ 4:82)

Ini adalah landasan epistemologi Qur’ani yang menolak dikotomi “akal vs wahyu”. Dalam paradigma Syahida, wahyu bukan ancaman bagi akal; wahyu justru memberi arah etis dan batas moral bagi penggunaan akal.

Krisis Umat: Ketika Akal Dibatasi dan Iman Dipersempit

Kajian Syahida menyoroti tiga patologi utama dalam tradisi keilmuan Muslim modern:

  • Reduksi ilmu hanya dalam ranah ritual; Padahal ilmu dalam Al-Qur’an mencakup penciptaan, sosial, sejarah, dan alam.
  • Krisis otoritas ulama dan monopoli pengetahuan; Ulama ideal dalam Al-Qur’an bukan sekadar ahli kitab, tetapi pelaku riset, pembaca ayat-ayat kauniyah.

Allah berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah para ulama.” (QS Fatir 35:28)

Syahida menekankan bahwa “ulama” adalah orang yang membaca alam, fenomena sosial, dan hukum moral, bukan sekadar teks.

  • Kemandekan intelektual akibat taklid; Qur’an mengkritik keras perilaku mengikuti nenek moyang tanpa pemikiran:

إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ…
“Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami dalam suatu ajaran…”
(QS Az-Zukhruf 43:22–23)

Kebangkitan Umat: Melalui Integrasi Pengetahuan

Syahida menawarkan tiga prinsip kebangkitan berbasis Qur’an:

  • Iqra’: membangun literasi dan riset; Ilmu harus relevan dengan realitas sosial, lingkungan, dan masa depan.
  • Tafakkur: menghidupkan proses berpikir sistematis’ Pemikiran kritis adalah ibadah, bukan ancaman.
  • Tadabbur: integrasi pengetahuan; Memahami wahyu dalam lanskap ilmu pengetahuan kontemporer, bukan sekadar menghafalnya.

 Menyatukan Akal dan Wahyu, Jalan Peradaban

Qur’an menegaskan:

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu’.” (QS Taha 20:114)

Ayat ini—satu-satunya doa tentang ilmu—menunjukkan bahwa Islam mengajak manusia terus belajar, tidak berhenti, tidak puas.

Dalam kajian Syahida, membangun peradaban berarti menghidupkan kembali semangat integrasi antara iman dan ilmu. Tanpa keduanya, umat akan tetap terjebak dalam dikotomi palsu—beragama tanpa berpikir atau berpikir tanpa tujuan.

 

Example 120x600