ppmindonesia.com.Jakarta — Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81/2025 memperkenalkan ketentuan baru yang mengaitkan pencairan Dana Desa Tahap II dengan kewajiban pembentukan Koperasi Merah Putih atau kelembagaan serupa di tingkat desa.
Regulasi ini memicu beragam respons dari pemerintah desa, pegiat pemberdayaan masyarakat, dan pengamat kebijakan publik yang menilai aturan tersebut sebagai upaya integrasi ekonomi desa, tetapi juga berpotensi menimbulkan beban administratif baru.
Kebijakan Baru: Dana Desa Harus Terintegrasi dengan Koperasi
Dalam PMK 81/2025, pemerintah menegaskan bahwa penyaluran Dana Desa Tahap II hanya dapat dilakukan jika desa telah membentuk koperasi sebagai lembaga ekonomi desa. Koperasi tersebut menjadi bagian dari strategi baru pemerintah untuk memperkuat ekonomi desa, mengonsolidasikan program pemberdayaan, serta meningkatkan akuntabilitas pengelolaan dana publik.
Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mendorong desa memiliki unit usaha mandiri dan tidak terus-menerus bergantung pada bantuan pemerintah pusat.
“Koperasi akan menjadi instrumen untuk mengonsolidasikan program ekonomi desa sekaligus memastikan keberlanjutan usaha masyarakat,” kata seorang pejabat Kemenkeu dalam penjelasan resmi.
Solusi dan Harapan Pemerintah: Ekonomi Desa Lebih Terstruktur
Pemerintah memandang bahwa pembentukan koperasi akan:
- Memperkuat pelaku usaha berbasis desa
- Menjadikan Dana Desa lebih produktif
- Menjaga keberlanjutan program di luar siklus APBN
- Menjadi wadah pemasaran, produksi bersama, dan akses pembiayaan formal
Konsep Koperasi Merah Putih juga dianggap sebagai wadah untuk meningkatkan kemandirian fiskal desa serta memperbaiki tata kelola lembaga ekonomi yang selama ini dinilai belum optimal.
Risiko di Lapangan: Administrasi Bertambah, Kesiapan Desa Dipertanyakan
Meski demikian, sejumlah kepala desa menyampaikan kekhawatiran mengenai kesiapan SDM dan beban administratif yang semakin berat. Banyak desa yang masih berfokus pada pemenuhan prioritas pembangunan dasar, sementara pembentukan koperasi membutuhkan:
- Struktur organisasi
- Akta notaris
- Modal awal
- Sistem pembukuan
- SDM pengelola yang kompeten
Jika tidak dipenuhi, pencairan Dana Desa Tahap II berpotensi tertunda atau tidak cair sama sekali.
“Ini justru bisa memicu stagnasi pembangunan di desa. Pembentukan koperasi tidak bisa instan,” ujar seorang Ketua Asosiasi Kepala Desa Kabupaten di Jawa Tengah.
Implikasi Kebijakan: Ada Potensi Gap Ekonomi antar-Desa
Pengamat kebijakan desa menilai aturan ini berisiko menimbulkan kesenjangan. Desa yang lebih maju dan memiliki modal sosial kuat dapat lebih cepat membentuk koperasi, sementara desa tertinggal akan mengalami hambatan.
Selain itu, beberapa pihak mempertanyakan urgensi mengaitkan pencairan dana pemerintah dengan keberadaan satu model kelembagaan tertentu.
“Desa diberi mandat otonomi berdasarkan UU Desa. Ketika pembentukan koperasi menjadi syarat pencairan dana, kita harus memastikan tidak terjadi pemaksaan yang justru melemahkan desa,” kata analis kebijakan publik Universitas Gadjah Mada.
Butuh Pendampingan dan Transisi yang Realistis
Sejumlah pegiat pemberdayaan masyarakat menilai bahwa pembentukan koperasi desa bisa menjadi langkah positif, namun hanya jika didukung dengan:
- Pendampingan teknis jangka panjang
- Penyederhanaan proses legalitas
- Penguatan kapasitas pengurus
- Integrasi dengan BUMDes agar tidak tumpang tindih
Model seperti Koperasi Merah Putih disebut berpotensi menjadi wadah ekonomi inklusif, tetapi hanya jika desa memiliki ruang adaptasi.
Kebijakan Baik, Eksekusi Menentukan
Kewajiban pembentukan koperasi dalam penyaluran Dana Desa merupakan kebijakan besar yang akan berdampak pada jutaan warga desa. Pemerintah desa berharap bahwa aturan ini tidak menjadi beban tambahan, tetapi momentum penguatan ekonomi rakyat.
Keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada pendampingan, kesiapan regulasi turunan, dan kemampuan pemerintah mengelola transisi secara bertahap.



























