ppmindonesia.com.Jakarta—Di tengah meningkatnya bencana banjir, longsor, dan cuaca ekstrem yang melanda Indonesia, terutama kawasan Sumatra, sejumlah pengkaji Al-Qur’an menegaskan pentingnya membaca kembali “tanda-tanda” alam melalui kacamata wahyu. Dalam kajian syahida—Qur’an bil Qur’an—bencana bukan sekadar fenomena alam, melainkan cermin langsung dari perbuatan manusia. Alam, menurut Qur’an, tidak pernah salah; manusialah yang merusak keseimbangannya.
Qur’an Menegaskan: Kerusakan di Bumi Adalah Ulah Manusia
Al-Qur’an menyampaikan secara eksplisit bahwa kerusakan ekologis adalah akibat tindakan manusia sendiri, bukan kehendak alam dan bukan murka acak.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia…”QS Ar-Rum 30:41
Ayat ini, menurut syahida, merupakan “ayat payung” yang menjelaskan bahwa kerusakan ekologis bukan takdir, melainkan respon hukum alam terhadap pelanggaran manusia—mulai dari penggundulan hutan, tambang ilegal, pencemaran sungai, hingga tata ruang yang rusak.
Tuhan Tidak Mengubah Nasib Suatu Kaum Bila Mereka Tidak Mengubah Diri
Banjir dan longsor yang terjadi setiap tahun bukanlah kejadian tiba-tiba. Ini adalah akumulasi kelalaian manusia dalam mengubah perilakunya.
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.”QS Ar-Ra‘d 13:11
Syahida menekankan bahwa “perubahan diri” dalam konteks ekologi berarti mengubah cara kita memperlakukan alam: dari eksploitasi menjadi pemulihan, dari nafsu jangka pendek menjadi kehati-hatian jangka panjang.
Air: Berkah yang Bisa Berubah Menjadi Azab Sosial
Qur’an menjelaskan air sebagai sumber kehidupan. Namun ia dapat berubah menjadi bencana ketika manusia mengkhianati keseimbangan yang Allah tetapkan.
قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَصْبَحَ مَاؤُكُمْ غَوْرًا فَمَنْ يَأْتِيكُمْ بِمَاءٍ مَعِينٍ
“Katakanlah: Terangkanlah kepadaku, jika air kalian merosot jauh ke dalam tanah, siapa yang dapat mendatangkan air yang mengalir bagi kalian?”QS Al-Mulk 67:30
Ayat ini menunjukkan bahwa pengelolaan air bukan persoalan teknis semata, melainkan amanah ilahi. Ketika hulu dirusak, sungai tidak mampu lagi memelihara dirinya, dan banjir menjadi keniscayaan.
Longsor Menurut Qur’an: Bukan Misteri, Tapi Konsekuensi Hukum Alam
Salah satu ayat paling kuat dalam menjelaskan bencana lingkungan ada dalam kisah Qarun. Bumi “menelan” Qarun bukan sebagai keajaiban magis, melainkan sebagai konsekuensi perilaku melampaui batas.
فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ
“Maka Kami benamkan dia bersama rumahnya ke dalam bumi.”QS Al-Qasas 28:81
Dalam kajian syahida, ayat ini dibaca sebagai metafor ekologis: bumi dapat membalas ketika keseimbangannya dilanggar. Dalam konteks modern, longsor besar-besaran adalah bentuk “khasf” (penenggelaman tanah) akibat hilangnya penahan di lereng—yang dalam banyak kasus merupakan pohon-pohon yang sudah ditebang.
Banjir Besar dalam Sejarah Qur’an: Hukuman atas Kesombongan Kolektif
Qur’an menjelaskan banjir besar sebagai fenomena ekologis yang dipicu keserakahan dan pembangkangan.
فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ • وَفَجَّرْنَا الْأَرْضَ عُيُونًا
“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air.”QS Al-Qamar 54:11–12
Bencana banjir Nuh bukan hanya hujan lebat, bukan hanya air yang naik; itu adalah kombinasi rusaknya harmonisasi langit-bumi akibat kesombongan manusia.
Alam Tidak Pernah Salah, Manusia yang Mengkhianati Amanah
Kajian syahida memadukan ayat-ayat ekologis dan menemukan pola besar:
alam selalu taat kepada hukum Allah; manusia yang melanggar hukum ekologis.
وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا
“Dan Dia menetapkan di bumi segala kadar dan keseimbangannya.”QS Fussilat 41:10
Ketika keseimbangan itu diusik—hutan hilang, tanah terbuka, sungai disempitkan—bencana bukan lagi “ujian”, tetapi reaksi ilmiah dari hukum yang telah ditetapkan Allah.
Bencana adalah Peringatan, Bukan Kebencian Tuhan
Qur’an menegaskan bahwa bencana memiliki fungsi peringatan moral dan sosial.
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian adalah akibat dari perbuatan tangan kalian sendiri.”QS Asy-Syura 42:30
Pengkaji syahida menegaskan bahwa ayat ini tidak berarti semua korban adalah pendosa, melainkan bahwa masyarakat secara kolektif menanggung akibat sistem yang rusak—kelalaian kebijakan, korupsi tata ruang, dan pengabaian lingkungan.
Empat Prinsip Ekologi Qur’ani (Kajian Syahida)
- Alam Tunduk pada Ketetapan Allah – Tidak pernah melanggar hukum Tuhan.
- Manusia Bisa Merusak Keseimbangan – Kerusakan adalah output ulah manusia.
- Bencana Adalah Mekanisme Korektif – Reaksi alam terhadap ketidakseimbangan.
- Pemulihan adalah Kewajiban Kolektif – Taubat ekologis = perubahan perilaku.
Analisis Kebijakan Publik
Para pakar mengingatkan bahwa pemulihan lingkungan tidak cukup dengan normalisasi sungai dan tanggap darurat. Dibutuhkan:
- Revisi tata ruang berbasis DAS, bukan politik elektoral.
- Penghentian izin tambang dan HGU di kawasan rawan bencana.
- Rehabilitasi hutan dengan prinsip nature-based solutions.
- Penegakan hukum yang tidak tunduk pada oligarki ekstraktif.
Pendekatan Qur’an bil Qur’an menunjukkan bahwa menjaga alam adalah bagian dari iman, bukan sekadar isu teknis.
Kajian syahida menegaskan bahwa alam tidak pernah salah. Alam hanya mengikuti sunnatullah: hukum-hukum Tuhan yang tidak berubah. Ketika manusia merusak keseimbangan, alam merespons. Banjir, longsor, cuaca ekstrem—semuanya adalah tanda agar manusia kembali kepada jalan yang lurus: menjaga bumi sebagaimana Allah memerintahkannya.



























