ppmindonesia.com.Jakarta – Fenomena pengkultusan tokoh, nama, simbol, ataupun figur karismatik bukanlah hal baru dalam sejarah manusia.
Dari zaman para nabi hingga era modern, manusia selalu memiliki kecenderungan untuk “mengangkat sesuatu” lebih tinggi dari yang seharusnya. Al-Qur’an mengungkap kecenderungan ini dengan sangat tajam: sebuah kelemahan psikologis yang berulang di setiap generasi.
Mengapa manusia dengan mudah menyandarkan agama pada nama seseorang? Mengapa penyebutan tokoh tertentu bisa memantik semangat, tetapi penyebutan Allah justru membuat sebagian orang merasa tidak nyaman?
Al-Qur’an menyodorkan jawabannya—jernih, tegas, dan lintas zaman.
Budaya Pengkultusan: Penyakit Lama yang Terus Berulang
Allah menggambarkan bahwa sebagian manusia memiliki hati yang tidak nyaman ketika hanya Allah yang dijadikan pusat perhatian. Namun sebaliknya, mereka merasa gembira saat nama-nama selain Allah diagungkan.
Allah mengabadikan fenomena ini dalam firman-Nya:
وَإِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوْبُ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِالْاٰخِرَةِ ۚ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِيْنَ مِنْ دُوْنِهٖٓ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ
(QS. Az-Zumar 39:45)
“Dan apabila Allah saja yang disebut, maka sempitlah hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat. Tetapi ketika disebut nama selain Dia, seketika mereka bergembira.”
Ayat ini memotret kenyataan yang ironis: sebagian orang lebih senang mendengar nama guru, imam, wali, tokoh politik, atau pemimpin kelompok dibanding mendengar nama Allah.
Kultus bukan hanya soal teologi; ia adalah cermin lemahnya kemandirian spiritual.
Menggantikan Allah dengan Simbol: Kesalahan Manusia Sepanjang Sejarah
Al-Qur’an menegur perilaku kaum terdahulu yang menjadikan tokoh-tokoh atau simbol-simbol sebagai “perantara” yang akhirnya dikultuskan.
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰى
(QS. Az-Zumar 39:3)
“Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah.”
Pengkultusan hampir selalu dimulai dengan alasan yang tampaknya mulia: “penghormatan”, “perantara”, “tabarruk”, atau “cinta”. Namun sejarah membuktikan, penghormatan yang berlebihan selalu berubah menjadi pengkultusan.
Ketika Nama Menggeser Petunjuk
Pengkultusan nama juga membuat sebagian umat lebih membela tokoh daripada membela kebenaran. Bahkan ayat-ayat Allah dapat ditinggalkan demi menjaga “kehormatan figur”.
Al-Qur’an mencela perilaku kaum Bani Israil yang mengidolakan ulama dan rahib mereka hingga menganggap mereka setara dengan Tuhan.
اتَّخَذُوْا اَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ
(QS. At-Taubah 9:31)
“Mereka menjadikan ulama dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.”
Ayat ini bukan sekadar kisah masa lalu. Ia adalah peringatan abadi bahwa pengkultusan tokoh agama dapat menjadi bentuk ketuhanan baru.
Mengapa Pengkultusan Terjadi? Al-Qur’an Memberikan Penjelasan Psikologis
1. Rasa Aman Semu
Manusia cenderung mencari figur yang bisa memberi “kepastian”. Padahal Al-Qur’an menegaskan:
اَلَيْسَ اللّٰهُ بِكَافٍ عَبْدَهٗ
(QS. Az-Zumar 39:36)
“Bukankah Allah cukup bagi hamba-Nya?”
2. Kesukaan terhadap sesuatu yang terlihat
Figur lebih mudah disukai daripada prinsip. Manusia tertarik pada sosok, bukan nilai.
3. Keengganan berpikir kritis
Mengikuti tokoh tertentu sering lebih mudah daripada mengikuti wahyu yang menuntut tanggung jawab pribadi.
Qur’an Menegaskan: Nama Tidak Menyelamatkan, Amal dan Petunjuk-lah Penentunya
Al-Qur’an menolak gagasan bahwa seseorang diselamatkan hanya karena hubungan, keturunan, kelompok, atau afiliasi pada tokoh tertentu.
فَلَآ اَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَىِٕذٍ وَّلَا يَتَسَاۤءَلُوْنَ
(QS. Al-Mu’minun 23:101)
“Pada hari itu tidak ada lagi hubungan nasab di antara mereka, dan mereka tidak saling bertanya.”
Yang menyelamatkan bukanlah nama guru, mazhab, organisasi, atau keturunan tertentu—melainkan ketakwaan pada Allah.
Titik Balik: Kembali ke Tauhid Murni
Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya pusat ketaatan, pusat pengagungan, dan pusat kebergantungan.
فَاعْبُدِ اللّٰهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَ
(QS. Az-Zumar 39:2)
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.”
Kultus nama adalah bentuk pencemaran kemurnian agama. Ia menjadikan manusia sebagai standar, bukan wahyu.
Menggugurkan Ketergantungan pada Nama, Menghidupkan Kesadaran pada Wahyu
Kecenderungan mengkultuskan figur bukan hanya masalah teologi, tetapi masalah mentalitas. Al-Qur’an mengingatkan agar manusia tidak menggantungkan keselamatan pada nama siapa pun—karena yang akan bertanya kita di akhirat hanyalah Allah, bukan guru, bukan imam, bukan wali, bukan tokoh.
Bila Al-Qur’an menjadi pusat, maka agama akan kembali jernih. Bila nama manusia menjadi pusat, maka agama akan mudah menjadi alat kepentingan.
Pilihan itu selalu terbuka. Al-Qur’an sudah menegaskan arah yang benar—tanpa ragu, tanpa bias, tanpa fanatisme kelompok.



























