ppmindonesia.com.Jakarta – Masjid selama ini dipahami terutama sebagai ruang ibadah ritual: tempat shalat, zikir, dan khutbah. Namun Al-Qur’an menampilkan visi yang jauh lebih luas.
Iman yang tumbuh di masjid tidak dimaksudkan berhenti di sajadah, tetapi diterjemahkan ke dalam keadilan sosial, kepedulian terhadap sesama, dan pembelaan terhadap yang lemah.
Al-Qur’an secara konsisten mengaitkan iman dengan tindakan sosial. Artikel ini mencoba menelusuri pesan tersebut melalui pendekatan Qur’an bil Qur’an, agar iman tidak berhenti sebagai simbol, tetapi menjadi kekuatan transformatif dalam kehidupan masyarakat.
Masjid dan Fungsi Sosial dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an menyebut masjid bukan sekadar bangunan fisik, melainkan pusat nilai dan peradaban:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ
“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat.”(QS At-Taubah 9:18)
Ayat ini menegaskan bahwa memakmurkan masjid tidak bisa dipisahkan dari zakat, simbol tanggung jawab sosial. Shalat dan zakat disebut dalam satu napas—ibadah spiritual dan keadilan sosial berjalan beriringan.
Iman yang Tidak Menyentuh Keadilan Dipertanyakan
Al-Qur’an bahkan memberi kritik keras terhadap keberagamaan yang abai terhadap penderitaan sosial:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS Al-Ma’un 107:1–3)
Menariknya, ayat ini tidak menyebut pendustaan agama sebagai penolakan akidah, melainkan sebagai sikap sosial: menelantarkan yatim dan fakir miskin. Ini menunjukkan bahwa agama dalam Al-Qur’an diukur dari dampaknya pada kemanusiaan.
Shalat sebagai Pencegah Ketidakadilan
Shalat tidak dimaksudkan sekadar rutinitas, tetapi sebagai pembentuk karakter sosial:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS Al-‘Ankabut 29:45)
Jika shalat tidak melahirkan kepekaan terhadap ketidakadilan, korupsi, atau penindasan, maka shalat itu kehilangan fungsi etiknya. Inilah sebabnya Al-Qur’an mengecam shalat yang kosong dari empati sosial:
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari shalatnya.”
(QS Al-Ma’un 107:4–5)
Keadilan sebagai Tujuan Iman
Al-Qur’an menempatkan keadilan sebagai tujuan utama risalah kenabian:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca agar manusia menegakkan keadilan.” (QS Al-Hadid 57:25)
Keadilan (al-qisth) bukan proyek elit agama, tetapi tanggung jawab seluruh masyarakat. Masjid seharusnya menjadi pusat kesadaran moral yang mendorong keadilan dalam ekonomi, politik, dan relasi sosial.
Dari Ritual ke Transformasi Sosial
Al-Qur’an tidak memisahkan iman dari perubahan sosial:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d 13:11)
Perubahan dimulai dari kesadaran iman, tetapi harus bergerak keluar: membangun sistem sosial yang adil, melindungi yang lemah, dan menolak segala bentuk penindasan.
Masjid sebagai Pusat Etika Publik
Dalam sejarah Islam awal, masjid berfungsi sebagai: pusat pendidikan, ruang musyawarah, tempat distribusi zakat, dan basis advokasi sosial.
Spirit ini sejalan dengan pesan Al-Qur’an agar iman tidak terkurung dalam ruang privat, tetapi hadir sebagai energi moral di ruang publik.
Iman yang Membumi
Al-Qur’an mengajarkan bahwa iman sejati:
- Berakar di masjid,
- Tumbuh dalam kesadaran spiritual,
- Berbuah dalam keadilan sosial.
Iman yang tidak membela yang lemah, tidak menolak kezaliman, dan tidak menghadirkan keadilan, adalah iman yang belum membumi.
“Masjid adalah titik berangkat, bukan titik akhir.”



























