ppmindonesia.com.Jakarta- Konflik internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kian mengemuka dan menyeret organisasi Islam terbesar di Indonesia itu ke pusaran dualisme kepemimpinan.
Polemik ini tidak hanya berkutat pada persoalan teknis organisasi, tetapi juga menyentuh irisan kepentingan kekuasaan ormas, ekonomi tambang, dan dinamika politik nasional menjelang Muktamar NU 2026.
Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menanggapi dugaan bahwa konsesi tambang menjadi pemicu utama konflik. Menurutnya, isu tersebut memang mungkin menjadi salah satu faktor, namun bukan satu-satunya sebab.
“Mungkin saja, tapi bukan cuma itu. Ada yang lain karena ini persoalan kompleks,” ujar Gus Yahya usai rapat koordinasi PBNU di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (11/12/2025).
Gus Yahya menegaskan, konflik yang terjadi tidak bisa disederhanakan sebagai pertarungan kepentingan ekonomi semata. Ia menilai persoalan di tubuh PBNU merupakan akumulasi berbagai masalah yang saling terkait.
Opsi Mengembalikan Konsesi Tambang
Di tengah sorotan publik terhadap kebijakan pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan, Gus Yahya menyatakan pihaknya tidak keberatan apabila PBNU diminta mengembalikan konsesi tersebut kepada pemerintah. Namun, ia menekankan bahwa keputusan itu harus melalui mekanisme kolektif.
“Iya, itu tidak masalah. Tapi semua harus dibicarakan bersama, karena keputusannya ini juga keputusan bersama,” katanya.
Pernyataan ini disampaikan Gus Yahya di tengah tudingan bahwa kepentingan ekonomi tambang telah memperlebar jurang konflik internal PBNU.
Dua Faksi Kepengurusan
Konflik PBNU memuncak setelah Rapat Pleno Syuriyah yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta, pada 9–10 Desember 2025. Rapat tersebut menetapkan Zulfa Mustofa sebagai penjabat (Pj) Ketua Umum PBNU menggantikan Gus Yahya.
Keputusan ini memicu munculnya dua faksi kepengurusan. Faksi pertama adalah kelompok yang mengakui hasil rapat pleno tersebut dan didukung sejumlah tokoh nasional, di antaranya mantan Sekretaris Jenderal PBNU Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Menteri Agama Nasaruddin Umar, serta Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Sementara itu, faksi kedua adalah kepengurusan PBNU di bawah Gus Yahya yang tetap berkantor di Jalan Kramat Raya, Jakarta. Sejumlah pengurus dan tokoh PBNU, termasuk Ulil Abshar Abdalla, berada dalam barisan ini.
Gus Yahya menilai rapat pleno di Hotel Sultan tidak memiliki legitimasi. Menurutnya, rapat tersebut merupakan tindak lanjut dari Rapat Harian Syuriyah di Hotel Aston pada 20 November 2025 yang sejak awal dinilainya melampaui kewenangan struktural Syuriyah.
“Kalau dari pangkalnya tidak diterima, maka seterusnya yang didasarkan pada pangkal itu tidak bisa diterima,” ujar Gus Yahya.
Upaya Islah yang Buntu
Gus Yahya mengaku telah berulang kali berupaya membuka ruang dialog dengan Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar. Ia bahkan menyebut telah mengutus perwakilan dan menemui Wakil Rais Aam PBNU KH Afifuddin Muhajir untuk meminta waktu komunikasi.
Namun, hingga kini, upaya tersebut belum membuahkan hasil.
“Kami sudah mengirim utusan untuk bisa berkomunikasi dengan Rais Aam, tapi belum ada jawaban,” katanya.
Meski demikian, Gus Yahya menegaskan pihaknya tidak ingin konflik ini dipersepsikan sebagai pertarungan kubu.
“Kami tidak menyikapi masalah ini sebagai kubu-mengkubu. Kami hanya ingin mempertahankan integritas tatanan organisasi,” ujarnya.
Bayang-Bayang Politik Jelang Muktamar
Pengamat politik dari Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago, menilai konflik internal PBNU tidak bisa dilepaskan dari konteks politik nasional. Menurutnya, dinamika ini mencerminkan pertarungan elite menjelang Muktamar NU 2026.
Ia menyoroti persepsi kedekatan Gus Yahya dengan Presiden ke-7 RI Joko Widodo sebagai salah satu faktor yang memperkeruh suasana. Manuver untuk melemahkan figur-figur yang diasosiasikan dengan pemerintahan sebelumnya dinilai turut mendorong eskalasi konflik.
“NU adalah ormas besar. Menguasai PBNU berarti memiliki modal politik yang sangat signifikan,” kata Arifki.
Menurutnya, setiap pergantian rezim kekuasaan nasional hampir selalu diikuti oleh reposisi politik di tubuh ormas-ormas besar, termasuk NU.
Tambang dan Kepentingan Ekonomi
Selain faktor politik, Arifki melihat kebijakan konsesi tambang sebagai ranah baru perebutan pengaruh di PBNU. Kepentingan ekonomi dinilai membuka ruang masuknya aktor-aktor bisnis yang memiliki kepentingan terhadap arah kepemimpinan ormas.
“Kalau dulu konflik lebih banyak di level kekuasaan organisasi, sekarang ada irisan kepentingan ekonomi yang besar,” ujarnya.
Gus Yahya sendiri mengakui kompleksitas persoalan tersebut. Namun ia menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan konflik dengan berpegang pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU, sebagaimana arahan para kiai sepuh Mustasyar NU.
“Jalankan AD/ART apa adanya, jangan ditekuk-tekuk,” kata Gus Yahya menirukan pesan para kiai.
Di tengah eskalasi konflik, publik NU kini menanti apakah jalan islah masih terbuka, atau PBNU akan terus berada dalam pusaran dualisme kepemimpinan yang berpotensi menggerus marwah jam’iyah.



























