Scroll untuk baca artikel
Hikmah

Isra’ Mi’raj: Fiksi Sejarah atau Konspirasi Teks?

255
×

Isra’ Mi’raj: Fiksi Sejarah atau Konspirasi Teks?

Share this article

ppmindonesia.com. JakartaIsra’ Mi’raj adalah salah satu peristiwa paling monumental dalam tradisi Islam. Kisah ini melibatkan perjalanan luar biasa Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa (Isra’) dan dilanjutkan dengan perjalanan menuju langit hingga Sidratul Muntaha (Mi’raj).

Secara teologis, peristiwa ini dijadikan simbol kebesaran Allah dan kedudukan tinggi Nabi Muhammad sebagai Rasul.

Namun, di balik keagungannya, muncul pertanyaan kritis: Apakah kisah Isra’ Mi’raj merupakan fakta sejarah yang mendalam, ataukah ia berkembang menjadi narasi yang dirangkai melalui tradisi dan teks?

Artikel ini mencoba menggali lebih dalam apakah Isra’ Mi’raj adalah fiksi sejarah atau konspirasi teks yang mengaburkan makna hakiki Al-Qur’an.

Isra’ dalam Perspektif Al-Qur’an

Isra’ disebutkan secara eksplisit dalam Surah Al-Isra’ ayat 1:

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.”

Ayat ini menggambarkan perjalanan malam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun, jika diperhatikan lebih jauh, ayat ini hanya menyebutkan peristiwa Isra’ tanpa menyebutkan Mi’raj, yakni perjalanan Nabi menuju langit.

Hal ini memunculkan pertanyaan penting: Jika Mi’raj adalah bagian dari peristiwa ini, mengapa tidak ada penyebutan eksplisit dalam Al-Qur’an?

Lebih lanjut, penggunaan kata asraa yang diterjemahkan sebagai “memperjalankan” juga membuka ruang interpretasi. Dalam Al-Qur’an, kata ini sering kali digunakan dalam konteks perjalanan atau pergerakan, baik fisik maupun simbolis.

Namun, dalam beberapa ayat lain, seperti Surah Al-Anfal ayat 67 dan 70, kata ini bermakna “menawan” atau “membawa tawanan.” Apakah Isra’ yang disebut dalam Surah Al-Isra’ ayat 1 adalah perjalanan fisik, spiritual, atau simbolis? Tafsir ini menjadi kunci dalam memahami esensi Isra’.

Narasi Mi’raj: Fakta atau Tradisi?

Tidak seperti Isra’, Mi’raj lebih banyak dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi dan tradisi lisan. Kisah Mi’raj mencakup perjalanan Nabi Muhammad menuju Sidratul Muntaha, pertemuan dengan para nabi, dan dialog tentang kewajiban salat. Namun, narasi ini menimbulkan beberapa keraguan:

1. Minimnya Penyebutan dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an sebagai sumber utama Islam tidak secara eksplisit menyebutkan Mi’raj. Padahal, jika peristiwa ini memiliki signifikansi besar dalam sejarah kenabian, penyebutan langsung dalam kitab suci seharusnya ada.

2.Keraguan Historisitas

Mi’raj sering digambarkan sebagai perjalanan fisik Nabi Muhammad ke langit. Namun, hal ini memunculkan dilema historis dan logis, terutama terkait waktu, ruang, dan peristiwa yang dilalui.

Sebagian ulama modern berpendapat bahwa Mi’raj mungkin lebih merupakan pengalaman spiritual daripada perjalanan fisik.

3.Kontradiksi dengan Konsep Ketetapan Ilahi

Narasi tawar-menawar jumlah rakaat salat dalam Mi’raj juga sering dikritisi. Proses ini bertentangan dengan konsep bahwa ketetapan Allah adalah final, sebagaimana dinyatakan dalam Surah Al-Ahzab ayat 38.

Kemungkinan Konspirasi Teks

Narasi Isra’ Mi’raj berkembang melalui tradisi lisan, tafsir, dan hadis. Dalam perjalanan waktu, kemungkinan terjadi penguatan narasi melalui teks-teks tertentu yang bersifat spekulatif.

Ada tiga kemungkinan alasan di balik pengembangan narasi ini:

1.Memperkuat Legitimasi Kenabian

Kisah Isra’ Mi’raj dapat dianggap sebagai cara untuk menegaskan posisi Nabi Muhammad sebagai Rasul yang memiliki hubungan langsung dengan Allah.

Perjalanan ini juga memberikan legitimasi terhadap ibadah salat sebagai kewajiban utama umat Islam.

2.Narasi Teologis yang Simbolis

Perjalanan ke langit dan pertemuan dengan para nabi bisa dimaknai sebagai simbol kedekatan spiritual Nabi Muhammad dengan Allah, bukan sebagai peristiwa historis.

Simbolisasi ini penting dalam membangun keyakinan dan keagungan Nabi.

3.Pengaruh Tradisi Lisan

Dalam masyarakat tradisional, kisah-kisah agama sering berkembang melalui tradisi lisan yang cenderung memperkaya narasi dengan elemen-elemen tambahan untuk memperkuat pesan moral dan spiritual.

Hal ini bisa menjadi salah satu penyebab narasi Isra’ Mi’raj menjadi begitu detail dan kaya akan elemen supernatural.

Analisis Hermeneutis terhadap Surah Al-Isra’

Pendekatan hermeneutika terhadap Surah Al-Isra’ memberikan perspektif baru. Ayat 1 Surah Al-Isra’ dapat dimaknai sebagai perjalanan simbolis yang mengilustrasikan perjalanan manusia menuju pemahaman akan kebesaran Allah.

“Masjidil Haram” dan “Masjidil Aqsa” dapat dilihat sebagai simbol kebenaran dan kesempurnaan dalam pengabdian kepada Allah.

Lebih jauh, frasa “agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda Kami” mengisyaratkan perjalanan batiniah yang membawa seseorang kepada kesadaran akan tanda-tanda kebesaran Allah.

Dengan demikian, ayat ini tidak mesti dipahami sebagai perjalanan fisik, melainkan sebagai perjalanan spiritual menuju pencerahan.

Membedakan Antara Fakta dan Mitos

Dalam membahas Isra’ Mi’raj, penting untuk membedakan antara fakta dan mitos. Fakta adalah apa yang didasarkan pada Al-Qur’an dan hadis yang sahih, sementara mitos adalah interpretasi yang dikembangkan melalui tradisi dan budaya.

Telaah kritis terhadap narasi ini membantu umat Islam untuk lebih memahami esensi ajaran Al-Qur’an dan membebaskan diri dari keterikatan pada narasi yang tidak berdasar.

Kesimpulan

Dari uraian ini dapat di simpulkan Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa yang kaya akan simbolisme dan nilai spiritual. Namun, memahami peristiwa ini memerlukan telaah kritis terhadap teks dan tradisi. Apakah ia merupakan fakta sejarah, simbol spiritual, atau narasi yang berkembang melalui teks, tetap menjadi perdebatan.

Yang jelas, kisah ini mengajarkan pentingnya perjalanan manusia menuju Allah melalui penghayatan ayat-ayat-Nya. Dengan pendekatan yang kritis, umat Islam dapat mengambil hikmah yang lebih besar dari Isra’ Mi’raj tanpa terjebak dalam narasi yang mungkin telah melewati batas-batas historisitasnya. (husni fahro)

Example 120x600