“Agar Tidak Berputus Asa atas Apa yang Luput”
ppmindonesia.com, Jakarta– Stabilitas iman harus senantiasa dijaga dalam kondisi yang prima. Sudah diketahui bahwa tujuan dasar penciptaan manusia, selain dihadapkan pada ujian kehidupan, juga diberikan pilihan untuk menjadi orang yang bersyukur atau kufur (lihat Q.S. 76:2-3, 76:4, 29:1-2, dan 21:35). Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempersiapkan diri, di antaranya dengan memperhatikan apa yang harus diusahakan untuk hari esok (lihat Q.S. 59:18).
Perencanaan yang matang dan terukur untuk masa depan sangat penting. Tujuannya adalah agar kita dapat mengukur keberhasilan dan memprediksi kecenderungan hasil, sehingga tidak terlalu bersedih atas apa yang luput dan tidak terlalu gembira dengan apa yang diperoleh (lihat Q.S. 57:22-23). Ada korelasi yang jelas antara perintah untuk merencanakan hari esok secara matang (Q.S. 59:18) dan cara menyikapi hasil kehidupan (Q.S. 57:23), yang memperkuat bahwa segala musibah atau kejadian sudah tertulis dalam kitab sebelum terjadi (Q.S. 57:22).
Dengan perencanaan yang baik, jika hasil tidak sesuai dengan harapan, kita akan memiliki pengertian untuk tidak berputus asa atas apa yang luput. Jika pernyataan dalam Q.S. 57:22 ini tidak dijelaskan oleh Q.S. 59:18, maka bisa muncul keyakinan Jabariyah, sebuah pemahaman bahwa segala sesuatu telah ditetapkan di Lauhul Mahfuz sebelum terjadi dan manusia hanya menjalani tanpa kesempatan untuk memilih atau berusaha. Jika ini yang dipegang, maka bisa dipertanyakan apa fungsi akal pikiran dan perintah dalam Al-Qur’an yang mendorong manusia untuk berpikir.
Di sisi lain, para penganut Qadariyah mempertanyakan lebih lanjut. Mereka mempertanyakan apa fungsi surga dan neraka jika orang yang beroleh petunjuk atau tersesat sudah ditetapkan sebelumnya. Perdebatan antara Jabariyah dan Qadariyah konon sudah berlangsung sejak wafatnya Rasulullah hingga sekarang, dengan banyak forum diskusi yang memperdebatkan kedua aliran ini, masing-masing mendasarkan argumennya pada ayat-ayat Al-Qur’an.
Para penganut Jabariyah menggunakan ayat seperti Q.S. 57:22-23 dan beberapa ayat lainnya, seperti Q.S. 2:272, 6:88, 13:27, 16:93, 24:46, 28:56, dan 39:23, yang menegaskan bahwa hanya atas kehendak Allah seseorang mendapatkan petunjuk atau tersesat. Namun, mereka sering kali tidak memperhatikan Q.S. 10:9 yang menyatakan bahwa petunjuk dari Allah diberikan kepada orang yang beriman, menegaskan bahwa petunjuk bukan sepenuhnya atas kehendak Allah, tetapi bergantung pada sikap individu.
Sebaliknya, penganut Qadariyah menggunakan ayat seperti Q.S. 13:11, yang menyatakan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka berusaha mengubah diri mereka sendiri. Mereka juga menggunakan Q.S. 53:39, yang menegaskan bahwa seseorang hanya akan mendapatkan hasil dari apa yang diusahakan. Ayat-ayat seperti ini memberikan landasan bagi mereka bahwa usaha manusia sangat menentukan hasil akhir.
Jika diperhatikan, perdebatan antara Jabariyah dan Qadariyah cukup seimbang dari segi dalil. Namun, bila ayat-ayat dari kedua belah pihak dikaji dengan cermat, sebenarnya perdebatan ini bisa diselesaikan dengan mudah. Contohnya, jika pandangan Jabariyah yang menggunakan Q.S. 57:22-23 dikaitkan dengan Q.S. 59:18, maka terlihat bahwa manusia memang harus berusaha dan merencanakan kehidupannya secara matang. Hal ini memastikan bahwa manusia tidak terlalu berputus asa jika gagal, dan tidak terlalu euforia jika berhasil.
Dengan meletakkan Q.S. 59:18 di antara Q.S. 57:22-23, kita dapat mengubah anggapan bahwa usaha manusia tidak berpengaruh, menjadi pandangan bahwa usaha manusia sangat menentukan hasil. Segala sesuatu memang sudah tertulis, namun kita tetap dituntut untuk merencanakan hidup dengan baik, agar hasil yang diperoleh bisa diprediksi dan kita tidak terjebak dalam keputusasaan atau kesombongan.
Pada akhirnya, baik Jabariyah maupun Qadariyah seharusnya dapat menyepakati bahwa usaha manusia memainkan peran penting. Semua ganjaran kebaikan dan hukuman atas kejahatan diberikan berdasarkan apa yang telah diusahakan oleh setiap individu.(husni fahro)