Oleh : Cak AT – Ahmadie Thaha – Alumni FU IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat –Ma’had Tadabbur al-Qur’an,
ppmindonesia.com, Jakarta- Generasi yang tumbuh di tahun 1980-an mungkin masih ingat kalimat-kalimat sederhana dari buku pelajaran Bahasa Indonesia karya Siti Rahmani Rauf: “Ini Budi, ini ibu Budi, ini bapak Budi.” Budi, sosok ikonik yang mengajarkan generasi itu mengenal kata dan kalimat sederhana, kini hadir dalam wajah baru di dunia nyata.
Budi Arie Setiadi, yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika, diharapkan mampu mengawal dunia digital Indonesia, menghadapi tantangan di tengah arus digital yang semakin pesat dan penuh risiko. Namun, apakah kiprah Budi yang ini akan meninggalkan jejak yang berkesan seperti sosok Budi dalam buku pelajaran?
Harapan di Tengah Realitas: Tantangan Memberantas Situs Judi
Publik berharap Kementerian Komunikasi dan Informatika (sekarang berganti nama menjadi Kementerian Komunikasi Digital, atau Komdigi) mampu menindak tegas ancaman situs-situs judi online, atau “judol,” yang meresahkan masyarakat. Namun, harapan ini justru berubah menjadi ironi.
Alih-alih memblokir situs-situs judi, kementerian malah menjadi sorotan setelah melakukan blokir terhadap WordPress, platform blogging yang banyak digunakan oleh masyarakat untuk menulis cerita, berbagi resep, hingga tips berkebun. Langkah ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah kementerian mengira bandar judi beralih profesi menjadi blogger, atau ada aplikasi WordPress tertentu yang tiba-tiba memberikan “jackpot”?
Dalam sidang bersama Komisi I DPR, anggota dewan Abraham Srijaya mengungkap temuan dari pegiat keamanan siber, Mr. Bert, yang menunjukkan bahwa alih-alih memblokir situs-situs judi, Komdigi malah memblokir platform WordPress, sementara situs-situs judi tetap bisa diakses dengan mudah. Klaim pemblokiran masif yang dilakukan kementerian ternyata tidak lebih dari ilusi—pemandangan maya yang menyesatkan.
Janji Pemblokiran: Berapa Banyak Situs yang Sebenarnya Diblokir?
Bu Menteri Meutya Hafid, yang baru saja menggantikan Budi Arie Setiadi, berjanji akan memblokir 2 juta situs dalam 100 hari. Menurutnya, kementerian telah memblokir 187 ribu situs dalam 10 hari, sebuah angka yang disebut-sebut sebagai yang terbesar dalam sejarah.
Namun, benarkah angka ini? Ataukah hanya sekadar statistik yang dirancang untuk mendongkrak citra? Janji pemblokiran masif ini mengingatkan publik pada janji-janji serupa yang pernah terdengar di masa kepemimpinan Budi Arie. Meski angka yang diumumkan mungkin tak sebesar saat ini, hasilnya tetap dipertanyakan. Ternyata, beberapa staf kementerian justru tertangkap mempertahankan ribuan situs judi online yang seharusnya diblokir. Bukankah ini sebuah ironi besar?
Realitas Paralel di Kementerian: Situs Judi Masih Merajalela
Beberapa oknum di Komdigi tampaknya piawai menciptakan “realitas paralel.” Mereka mengklaim telah memblokir situs-situs judi, namun kenyataannya situs tersebut masih bebas diakses. Dalam narasi heroik mereka, seolah-olah dunia judi online telah diberantas, meskipun faktanya situs-situs ini masih ada, bahkan mencapai jutaan.
Keberadaan Budi Arie di kementerian kini menarik perhatian publik, terutama setelah beberapa stafnya tertangkap diduga terlibat jaringan judi online. Salah satu sosok yang menonjol dalam kasus ini adalah Adhi Kismanto, seorang teknisi perangkat lunak yang dikenal cerdik menghindari deteksi dan diyakini menjadi tokoh penting di balik situs-situs judi yang lolos dari pemantauan.
Kabarnya, “pengamanan” situs-situs ini memakan biaya sekitar Rp8,5 miliar per bulan. Pertanyaan pun muncul: siapa yang menikmati aliran dana sebesar itu? Budi Arie dikenal memiliki hubungan dekat dengan lingkaran kekuasaan, terutama melalui perannya sebagai pendiri Relawan Pro Jokowi (Projo). Projo kabarnya akan berkembang menjadi partai politik, sebuah langkah yang tentu membutuhkan sokongan dana besar.
Menelusuri Strategi Machiavellian: Jabatan untuk Ambisi Pribadi?
Praktik-praktik ini mengingatkan kita pada konsep Machiavellian, di mana kekuasaan sering kali dijalankan tanpa mempertimbangkan moral. Alih-alih menggunakan jabatannya untuk melindungi masyarakat dari bahaya perjudian, tampaknya posisi tersebut dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi dan politik.
Seperti yang diingatkan oleh filsuf Alexis de Tocqueville, tujuan sejati demokrasi adalah untuk melayani rakyat, bukan menjadi alat ambisi politik. Sayyid Qutb, seorang pemikir Islam, pun pernah mengkritik keras kepemimpinan yang mengkhianati kepercayaan publik. Baginya, praktik semacam ini bukan hanya merusak tatanan moral, tetapi juga menghancurkan masyarakat secara keseluruhan.
Antara Bingung dan Tawa Pahit: Publik Menjadi Korban
Pada akhirnya, masyarakat hanya bisa menggelengkan kepala antara bingung dan tertawa pahit melihat ironi ini. Kementerian yang seharusnya menjadi benteng perlindungan dari ancaman digital justru tampak lebih sibuk mengamankan “aset” yang mungkin saja mendukung kepentingan politik mereka.
Fenomena ini menggambarkan dengan jelas praktik-praktik Machiavellian, di mana moralitas dikesampingkan demi ambisi pribadi. Di dunia yang kian terhubung ini, masyarakat berharap pejabat publik dapat memanfaatkan teknologi untuk kebaikan bersama, bukan untuk memenuhi hasrat kekuasaan yang menyesatkan.
Semoga di masa mendatang, sosok-sosok dalam pemerintahan dapat lebih mendengar suara masyarakat, bertindak transparan, dan menggunakan jabatannya sesuai amanat rakyat—menjadi pemimpin yang benar-benar “Budi,” yang mewujudkan kebaikan dan melindungi, bukan sekadar ilusi kekuasaan yang membingungkan.( Ahmadie Thaha)