Oleh : Cak AT – Ahmadie Thaha – Alumni FU IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat – Ma’had Tadabbur al-Qur’an,
ppmindonesia.com, Jakarta– Di tengah impian besar tentang Indonesia sebagai tanah air yang damai, adil, dan sejahtera, ada kenyataan pahit yang harus kita hadapi: dunia judi online yang kian meluas. Masyarakat kita, mulai dari buruh hingga pejabat, seolah terpesona oleh kilauan imajinasi “klik-dan-menang.” Di tahun 2023 saja, judi online mengalirkan Rp 327 triliun—sebuah angka fantastis yang menggambarkan seberapa dalam dampaknya, bukan hanya pada layar gawai, tetapi hingga menyentuh ruang kekuasaan.
Sayangnya, mentalitas judi ini bukan hanya menggoda masyarakat, tetapi juga menjalar ke dunia politik. Dalam suasana yang mirip kasino terbuka, para politisi dan pejabat berlomba dalam permainan uang dan janji. Money politics, yang dulunya dianggap aib, kini sudah seperti rumus baku: ingin jadi anggota legislatif? Siapkan dana miliaran rupiah. Semakin besar jabatannya, semakin besar pula taruhannya.
Mereka yang kalah dalam “taruhan politik” pulang dengan tangan kosong, sementara yang menang harus berjuang keras mengembalikan “modal” yang sudah terkuras. Tak jarang, ada anggota dewan yang bahkan berani mengusulkan perpanjangan masa jabatan hingga sepuluh tahun—bukan demi kepentingan publik, melainkan demi mengembalikan “investasi” yang telah mereka tanam.
Sebagaimana di meja judi, politik kasino ini penuh ketidakpastian. Idealisme dikesampingkan, dan etika hanya sekadar hiasan. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan tak lagi mengemban amanah rakyat, melainkan sibuk menghitung untung-rugi pribadi. Jangan heran jika kita menemukan pemimpin penuh kontroversi, pejabat yang mempermainkan hukum, serta wakil rakyat yang mengutamakan kalkulasi pribadi ketimbang kepentingan publik.
Fenomena ini mencerminkan kerusakan moral yang akut. Para pejabat kita hidup dalam ilusi kekuasaan, mengandalkan “kartu keberuntungan” mereka, dan terus berjudi dengan masa depan bangsa. Kerusakan ini pun semakin terlihat, mengubah negara kita menjadi arena spekulasi, di mana kebijakan hanya dibuat jika ada imbal balik bagi sang pejabat. Eksekutif, yudikatif, dan legislatif seolah berubah menjadi lelucon: bukannya berperan sebagai penegak kesejahteraan, mereka menjadi “pemain poker” yang lihai menyembunyikan keuntungan.
Money politics kini bukan sekadar strategi, melainkan racun yang menggerogoti mentalitas dan moral bangsa. Kita terjebak dalam lingkaran setan ini, yang terus berulang tanpa henti. Ketika harga sembako tiba-tiba turun menjelang pemilu, kita bertepuk tangan, padahal itu bukan bukti kepedulian, melainkan sekadar umpan politik.
Mentalitas kasino ini telah membius masyarakat, membuat kita lupa bahwa judi politik ini adalah ancaman nyata bagi masa depan bangsa. Reformasi bukan lagi kata klise, tapi sebuah kebutuhan mendesak. Kita butuh perubahan yang mampu menciptakan sistem politik bersih dan terbuka hanya bagi mereka yang siap mengabdi untuk rakyat.
Tanpa reformasi sejati, bangsa ini akan terus hanyut dalam ilusi, dipimpin oleh para pejabat yang hanya berjudi dengan masa depan kita semua. (Ahmadie Thaha)