ppmindonesia.com, Jakarta–Manusia memiliki kecenderungan alami untuk tampil terpuji dan menjauh dari cela. Hal ini tampak dalam bagaimana setiap tindakan, pilihan, dan ucapan kita biasanya dirancang untuk memperoleh penghargaan atau setidaknya menghindari celaan.
Pilihan-pilihan kita, baik dalam hal kecil maupun besar, sering didasari oleh perhitungan yang matang: apakah tindakan ini akan membawa manfaat atau malah merugikan? Pemikiran semacam ini mendorong kita untuk menampilkan etika terbaik dan menciptakan hubungan yang harmonis dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Namun, dalam perspektif Al-Qur’an, ada dimensi yang lebih mendalam dalam pencarian kemuliaan ini.
Dalam QS. Al-Hajj ayat 18, Allah menegaskan bahwa siapa pun yang telah dihinakan oleh Allah, tidak ada satu pun yang dapat memuliakannya. Pujian atau kemuliaan sejati, dalam pandangan Islam, adalah hak Allah sepenuhnya — “Alhamdu lillah” atau “segala puji bagi Allah.” Manusia yang mencari kemuliaan seharusnya mengarahkan diri pada Sang Pemilik pujian itu. Allah memberikan petunjuk dalam QS. Al-Isra’ ayat 79, bahwa mereka yang ingin diangkat pada posisi yang terpuji, yaitu maqaman mahmuda, hendaknya mempersiapkan diri dengan shalat tahajud pada malam hari.
Tahajud bukan sekadar ritual; ia adalah sarana mendekatkan diri kepada Allah secara tulus di saat orang lain tertidur. Ibadah malam yang sunyi ini mencerminkan ketakwaan dan kerendahan hati seseorang di hadapan Sang Pencipta. Rasulullah ﷺ sendiri, meski telah dijamin kemuliaannya, tetap melaksanakan tahajud dengan penuh kesungguhan. Bagi seorang mukmin, tahajud menjadi cara untuk memurnikan niat, menjadikan pujian bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai hasil dari kecintaan dan ketundukan kepada Allah.
Kemuliaan hakiki adalah sesuatu yang hanya Allah berikan kepada orang-orang yang taqwa. Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling bertakwa, sebagaimana tertuang dalam QS. Al-Hujurat ayat 13. Oleh karena itu, hendaknya kita selalu waspada terhadap sikap riya yang disinggung dalam QS. Ali Imran ayat 188, di mana Allah memperingatkan terhadap mereka yang ingin mendapat pujian atas perbuatan yang bahkan tidak mereka lakukan. Meraih pujian tanpa amal adalah bentuk ketidakjujuran dan bertentangan dengan nilai-nilai keimanan yang sejati.
Dengan demikian, maqaman mahmuda atau posisi yang terpuji dalam Islam bukanlah sekadar citra terpuji di mata manusia, melainkan pengakuan kemuliaan dari Allah, Sang Pemilik pujian. Meraih kemuliaan ini adalah dengan menjaga ketulusan, keikhlasan, dan mendekatkan diri kepada-Nya, khususnya dalam ibadah malam yang menjadi jalan meraih derajat tersebut. Hanya dengan menyandarkan diri kepada Allah dan bertakwa, kita dapat benar-benar mencapai kemuliaan sejati yang kekal dan bukan sekadar pujian yang semu.(husni fahro)